Vietnam sebagai negara tempat pengiriman BBL dari Indonesia turut diwajibkan membangun budidaya lobster di Tanah Air. Selanjutnya, dibentuk perusahaan joint venture dengan Vietnam untuk mengembangkan budidaya lobster di Indonesia.
Awalnya lima perusahaan yakni, PT Mutagreen Aquaculture International, PT Gajaya Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, PT Idovin Aquaculture International dan PT Idichi Aquaculture International. Namun berdasarkan keterangan KKP baru 3 perusahaan yang terverifikasi.
Menurut info yang beredar, perusahaan itu bertambah menjadi 10 yakni (tambahannya) AquaGreen Trading Company Limited, Ichika Joint Stock Company, Phu Gia Long Trading Joint Stok Company, New World Seafood Trading dan Import Export Aquaculture Company Limited.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kemudian menetapkan Jembrana, Bali sebagai lokasi budidaya lobster hasil kerja sama dengan Vietnam. Menurut keterangan dari KKP, perairan Jembrana yang dianggap cocok atau memiliki kemiripan dengan perairan yang ada di Vietnam.
Penelusuran
RMOL ke Desa Penyaringan, Jembrana, Minggu (1/9) untuk melihat budidaya, terlihat beberapa kerangkeng penampung benih berukuran S, M, L terpajang di pinggir pantai. Beberapa sudah terpasang di tengah laut dengan yang berisikan benur sekitar 200 ekor per kerangkeng.
Panen lobster hingga ukuran besar (siap konsumsi) diestimasikan pada Desember 2024 mendatang. Kondisi di sana tak seperti yang dibayangkan, lokasi bukan berada di posisi teluk dengan gelombang yang tenang.
Melihat kondisi budidaya yang masih jauh panggang daripada api itu sejatinya banyak hal yang ditutupi KKP saat ini. Lokasi budidaya ini hanya 1 titik yang dilakukan bersama oleh para perusahaan joint venture Vietnam. Padahal menurut peraturan, masing-masing perusahaan diwajibkan memiliki lokasi budidaya.
Sejak keluar Permen KP 7/2024, berbagai dugaan adanya potensi korupsi terus terbuka lebar. Dengan demikian, proses budidaya yang terus didengungkan KKP seakan hanya menjadi pelengkap dari pengiriman BBL ke Vietnam.
Menurut salah seorang aktivis nelayan lobster di Bali, Lebor Nugroho, aktivitas budidaya di Jembrana ini seakan hanya pengalihan dari ekspor BBL.
"Itu hanya alasan untuk BBL bisa ekspor. Masalahnya, tempat program budidaya KKP itu di Penyaringan, Kabupaten Jembrana, ombak selatan sangat keras dan tinggi. Bagaimana mungkin, budidaya BBL bisa bertahan survival ratenya. Sementara lobster bisa
survival rate tinggi, harus di tempat budidaya yang aman dan bagus,” ujar Lebor.
Program budidaya KKP itu, melanggar peraturan yang dibuat sendiri. Karena, syarat ekspor bagi perusahaan yang mendapat izin BBL harus budidaya terlebih dahulu sebesar 200 ribu ekor.
Sementara Lebor melihat fasilitas budidaya yang sangat minim, mustahil mencapai 200 ribu ekor.
Dia pun mengendus agar permainan BBL dengan Vietnam ini segera dibongkar oleh aparat penegak hukum. Lebor pun menyebut nama pemain besar BBL bernama Tran Quang Vinh (TQV) atau yang sering disapa dalam logat Indonesia bernama Cen Kuang Ving (CKV) atau Cen.
Lebor menduga bahwa Cen merupakan aktor di balik berdirinya perusahaan-perusahaan joint venture itu yang ternyata lebih menitikberatkan pada ekspor, bukan budidaya.
“Sementara kita lihat di Jembrana ini diduga ya, hanya benih-benih yang
reject (untuk budidaya), yang bagus-bagusnya, dibawa ke Vietnam,” pungkasnya.
BERITA TERKAIT: