Mantan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Financial Technology OJK, Hendrikus Passagi, yang menjadi saksi ahli dalam kasus tersebut, menegaskan bahwa pemahaman yang keliru tentang P2P lending sering menjadi akar permasalahan.
Hendrikus menjelaskan, P2P lending adalah inovasi pendanaan yang menghubungkan langsung antara pemberi pinjaman (
lender) dan penerima pinjaman (
borrower). Platform P2P berperan sebagai perantara yang memfasilitasi pertemuan kedua pihak secara online.
"Penyelenggara P2P lending tidak diperkenankan memungut biaya dari
lender atau
borrower," tegasnya.
"Konsepnya mirip seperti kita meminjamkan uang kepada teman. Jika teman kita tidak mampu mengembalikan pinjaman, kita tidak bisa menuntut platform tempat kita dipertemukan," lanjut Hendrikus.
Lanjut Hendrikus, salah satu kesalahpahaman umum adalah menganggap P2P lending sama dengan lembaga keuangan konvensional seperti bank. Padahal, keduanya memiliki model bisnis yang sangat berbeda.
"Dalam P2P lending, risiko kredit sepenuhnya ditanggung oleh
lender. Platform hanya bertindak sebagai fasilitator," jelasnya.
Terkait kasus pencabutan izin usaha TaniFund, menurut Hendrikus, merupakan hal yang wajar dalam industri yang dinamis seperti fintech.
"Pencabutan izin tidak selalu berarti adanya
fraud atau kejahatan. Bisa jadi karena alasan operasional atau risiko bisnis," ungkapnya.
Hendrikus menyayangkan adanya gugatan wanprestasi terhadap TaniFund. Ia menilai hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang mekanisme P2P lending.
"Gugatan semacam ini justru merugikan industri fintech yang sedang berkembang di Indonesia," katanya.
"Penting bagi kita untuk memahami bahwa P2P lending adalah bagian dari inklusi keuangan yang bertujuan memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat," tambah Hendrikus.
Ia juga mengingatkan bahwa perlindungan hukum tidak hanya berlaku bagi konsumen, tetapi juga bagi pelaku usaha. Jika ada
lender yang bertindak tidak sesuai dengan perjanjian, ucap Hendrikus, platform P2P berhak untuk melakukan gugatan balik.
"Untuk itu, edukasi publik menjadi kunci dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri fintech," tutup Hendrikus.
Dalam kasus TaniFund, Hendrikus menyarankan agar kedua belah pihak dapat mencari solusi terbaik melalui mediasi atau negosiasi. Ia berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, baik regulator, pelaku industri, maupun masyarakat.
BERITA TERKAIT: