Hal itu disebabkan pengurangan produksi OPEC+ yang terus membebani perekonomian negara.
Data dari Otoritas Umum Statistik menunjukkan output ekonomi kerajaan menyusut 0,4 persen secara tahunan selama periode April-Juni. Hal ini terutama didorong oleh kontraksi sebesar 8,5 persen di sektor minyak.
Angka tersebut lebih baik dibandingkan kontraksi sebesar 1,7 persen yang tercatat pada periode tiga bulan sebelumnya, karena aktivitas perekonomian non-minyak tumbuh sebesar 4,4 persen, naik dari 3,4 persen sebelumnya.
Pemerintah Saudi tengah fokus pada perluasan ekonomi non-minyak yang menciptakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduknya. Sementara, untuk rencana Visi 2030 Putra Mahkota Mohammed bin Salman, sangat membutuhkan investasi baru senilai ratusan miliar Dolar AS.
Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya telah menahan pasokan selama hampir dua tahun dalam upaya untuk menopang harga. Namun, harga minyak mentah Brent rata-rata berada di kisaran 83,5 Dolar AS per barel sepanjang tahun ini, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (1/8).
Ini lebih rendah dari harga yang dibutuhkan Arab Saudi untuk menyeimbangkan anggarannya sebesar 96 Dolar AS per barel, menurut Dana Moneter Internasional.
Bloomberg Economics memperkirakan harga titik impas sebesar 109 Dolar AS per barel, setelah pengeluaran domestik oleh dana kekayaan negara kerajaan tersebut diperhitungkan.
"Terlepas dari labelnya, sektor non-minyak Saudi bergantung pada harga minyak," kata ekonom Ziad Daoud dari Bloomberg Economics.
"Dengan tingginya harga minyak, pihak berwenang mempekerjakan lebih banyak orang, meningkatkan layanan pemerintah, sebuah aktivitas non-minyak," sambungnya.
BERITA TERKAIT: