Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bukan Cuma di Indonesia, Ratusan Pabrik Lokal Thailand Gulung Tikar Gara-gara China

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 29 Juni 2024, 08:28 WIB
Bukan Cuma di Indonesia, Ratusan Pabrik Lokal Thailand Gulung Tikar Gara-gara China
Ilustrasi/Net
rmol news logo Ratusan pabrik di Thailand terpaksa menghentikan produksi mereka tahun ini. Salah satu alasan paling signifikan adalah melimpahnya barang impor murah terutama dari China.

Kementerian Perindustrian Thailand mengungkapkan, di antara yang paling terpengaruh adalah pabrik yang memproduksi elektronik, baja, dan plastik.

“Pabrik komponen elektronik dan papan sirkuit cetak yang tertutup memiliki nilai investasi tertinggi sebesar 2,29 miliar baht (Rp1 triliun),” kata Menteri Perindustrian Pimphattra Wichaikul, seperti dikutip dari Bangkok Post, Sabtu (29/6).

Di posisi kedua adalah pabrik baja dan besi dengan investasi sebesar 1,45 miliar baht (Rp645 miliar), diikuti oleh fasilitas manufaktur plastik senilai 930 juta baht (Rp413 miliar).

"Dari bulan Januari hingga Mei tahun ini, total 488 pabrik di seluruh sektor industri menghentikan bisnisnya," kata Pimphattra, mengutip statistik dari Departemen Pekerjaan Industri.

Beberapa perusahaan memutuskan untuk memberhentikan total 12.551 pekerja selama periode lima bulan ini.

"Salah satu alasan utama yang menyebabkan perusahaan melakukan PHK dan penutupan pabrik adalah kurangnya daya saing mereka, dibandingkan dengan beberapa negara asing yang mengekspor produk ke Thailand," kata Pimphattra.

Ia mengatakan, produsen lokal kalah bersaing dengan kompetitor yang menjual produk dengan harga lebih murah.

"Beberapa diantaranya memutuskan untuk memecahkan masalah ini dengan merelokasi fasilitas produksi mereka ke negara tetangga untuk memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas," katanya.

Asosiasi Produsen Baja Produk Panjang EAF sebelumnya mengatakan bahwa banyak produsen baja lokal kemungkinan akan menutup bisnis mereka tahun ini setelah menyerah terhadap banjir dumping dari China.

"Impor baja Tiongkok telah mengurangi pemanfaatan kapasitas industri baja Thailand, dengan tingkat penurunan menjadi 28 persen antara bulan Januari dan Februari, menandai titik terendah baru," kata asosiasi tersebut.

Kantor Ekonomi Industri memperkirakan Indeks Produksi Manufaktur Thailand akan tetap datar atau naik 1 persen tahun-ke-tahun pada tahun 2024, yang merupakan penurunan dari proyeksi sebelumnya sebesar pertumbuhan 2-3 persen.

Sementara di Indonesia, Pemerintah mengakui semakin banyak produk murah dari China masuk ke Indonesia. Di sisi lain, tidak mudah mengawasi gelombang impor yang terjadi.

Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Direktorat Jenderal Bea Cukai (BC) Kementerian Keuangan, Mohammad Aflah Farobi, beberapa waktu lalu menjelaskan, dokumen pengiriman barang atau consignment note (CN) melonjak drastis.

Catatan barang impor ke Indonesia pada 2018 hanya 5 juta per tahun. Pada 2019-2023 melonjak menjadi 60 juta per tahun.

Menurutnya, kebanyakan barang-barang itu berasa dari China.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan negara asal utama impor selama 2023 paling banyak berasal dari China dengan nilai 62,18 miliar dolar AS. Jumlah share-nya mencapai 28,02 persen terhadap total impor yang mencapai 221,89 miliar dolar AS. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA