Pemerintah berencana mengenakan pungutan cukai pada produk plastik mulai taÂhun 2019. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun depan, pemerinÂtah menargetkan bisa meraup Rp 500 miliar dari penerapan kebijakan tersebut.
Hingga kini belum ada kepasÂtian kapan kebijakan akan mulai diterapkan. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra baik di kalangan pelaku usaha maupun internal pemerintah sendiri.
Sekretaris Kementerian KoorÂdinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengaÂtakan, pihaknya belum mengeÂtahui kapan kebijakan itu akan diterapkan. Menurutnya, pemerintah masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
"Penetapannya harus melaÂlui PP dan PMK. Dan kalau teman-teman Direktorat JenÂderal Bea dan Cukai (DJBC) menargetkan PP selesai akhir tahun. Itu tidak bisa langsung diterapkan karena butuh aturan pelaksanaan," ujar Susiwijono di Kantor Kementerian KoorÂdinator bidang Perekonomian, Jakarta, kemarin.
Dia mengakui, pungutan cukai plastik memang untuk menamÂbah kantong negara. Namun, sebenarnya target penerimaan Rp 500 miliar tidak terlalu beÂsar. Karena, jumlah tersebut hanya 0,3 persen dari target penerimaan cukai tahun depan yang sebesar Rp 165,5 triliun. Hal itu ditetapkan karena pemerintah masih memikirkan nasib industri plastik.
Pemerintah menyadari, kebiÂjakan itu memberikan pengaruh terhadap kegiatan industri. Di dalamnya menyangkut masalah lapangan kerja.
Susiwijono menegaskan, renÂcana pungutan cukai plastik, buÂkan semata-mata untuk mengeÂjar penerimaan saja. Tetapi, ada hal lain yang tidak kalah penting. Yakni, untuk menekan penggunaan kantong plastik di Indonesia.
"Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara dengan konÂsumsi sampah plastik terbanyak sehingga masuk kategori darurat plastik," ujarnya.
Dia bilang, setidaknya ada 9,8 miliar lembar sampah plastik per tahun. Dari jumlah itu, hanya sekitar 5 persen yang bisa didaur ulang. Sementara, 50 persen di antaranya hanya berserakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Padahal, penguraian sampah plastik membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun.
"Melihat kondisi itu, maka sangat perlu untuk tidak meÂnyediakan kantong plastik lagi di supermarket. Jangan gratis lagi, itu pun harus kantong plasÂtik berbayar yang ramah lingkungan, hasil daur ulang," terang Susiwijono.
Tak hanya itu, lanjut SusiwiÂjono, pungutan cukai dibutuhkan untuk mengantisipasi ancaman masuknya produk plastik impor ke Tanah Air seiring masih terÂjadinya perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Nirwala Dwi Hariyanto menjelaskan, tidak semua jenis plastik yang akan dikenai pungutan cukai. Hanya plastik yang sering diÂpakai untuk belanja dengan ketebalan 75 mikron saja yang kena.
"Tidak semua jenis plastik dikenakan. Cukai plastik perlu diterapkan karena berdasarkan penelitian, semua industri mengÂgunakan plastik. Bahkan jok mobil saja dibungkus plastik," kata Nirwala.
Sekadar informasi, pelaku industri plastik menolak penerapan cukai tersebut. Mereka memandang kebijakan itu salah alamat. Sebab, masalah sampah tergantung pada pengelolaannya. Selain itu, kebijakan itu membeÂbani dunia usaha.
Kementerian Perindustrian juga tidak setuju dengan kebiÂjakan itu. Mereka khawatir akan membebani kinerja industri. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga sebelumnya ikut komentar.
Menurut Susi, untuk mengendalikan sampah, tidak perlu pungutan cukai, cukup dilarang langsung saja penggunaannya.
Diterapkan Banyak Negara Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan, pengeÂnaan tarif cukai plastik bukan hal baru di dunia. Banyak negara sudah menerapkannya antara lain Irlandia, Denmark, Wales, Skotlandia, Belgia, Rumania, Hong Kong, Afrika Selatan, dan Botswana.
"Yang penting selain penerapan cukai plastik, pemerintah juga harus memberikan instrumen fiskal berupa insentif yang bisa diberikan kepada pelaku usaha yang mau mengurangi penggunaan plastik. Jadi ada reward and punishment, pastinya industri bisa menyeÂsuaikan," kata Yustinus. ***
BERITA TERKAIT: