Ekonom
Institute for DeÂvelopment of Economics and Finance (Indef) Bhima YudhisÂtira Adhinegara menilai, posisi Indonesia kurang menguntungÂkan bila perang dagang antara AS dengan China semakin keras dan berlangsung lama.
"Kalau kita analisis dari ranÂtai pasokan, maka negara yang terhubung mensuplai bahan mentah ke AS maupun China akan terkena dampak signifiÂkan. Salah satunya Indonesia. Sebab 25 persen tujuan ekspor (bahan mentah) ke kedua negara itu. Dan, saat ini kita sudah merasakan defisit perdagangan sejak awal tahun sampai AgusÂtus," kata Bhima kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Di sektor moneter, lanjut Bhima, perang dagang antara AS dengan China akan membuat negara berkembang menghadapi tantangan berat.
Perusahaan investasi di AS, JP Morgan meramal selambat-lambatnya akan terjadi kriÂsis keuangan besar di dunia pada tahun 2020. Hal itu antara lain disebabkan perkembangan ekonomi dunia belakangan ini yang mendorong investor berlomba-lomba keluar dari
emerging market. Menurut Bhima, bila krisis dunia terjadi, Indonesia rentan masuk ke dalam negara ke enam yang paling rentan terjadi krisis setelah Afrika Selatan, KolomÂbia, India, Meksiko, dan Chile.
Siapa yang diuntungkan? Bhima menyebut, untuk negara tetangga, Thailand dan Vietnam. Sebab kedua negara itu mendaÂpatkan relokasi pabrik dari As dan China.
Saat ditanya soal potensi konflik AS dengan China menÂjadi perang dunia ketiga? Bhima menjelaskan, segala kemungkinan bisa terjadi. Apalagi, daÂlam sejarah, perang dunia I dan II terjadi juga dimulai dari saling boikot dan blokade perdagangan di antara negara yang bertikai.
"
Trade war itu memang esensi perang atau kondisi pra perang secara fisik," cetusnya.
Proyeksi perang dagang AS dengan China bakal berlangsung lama sebelumnya disampaikan antara lain Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Selain itu, Mantan Menteri KoordinaÂtor Perekonomian yang juga pebisnis, Chairul Tanjung. BahÂkan, CT-panggilan akrab Chairul Tanjung memproyeksi perseteruan kedua negara tersebut bisa menyebabkan terjadinya perang dunia ketiga. Tetapi, perang dimaksudnya bukan perang fisik tetapi perang ekonomi. Hal itu berkaca dari sikap AS yang terus melakukan tekanan terhadap China. Dan, bila berÂhasil mengalahkan China, tidak menutup kemungkinan, AS juga akan melakukan hal yang sama kepada sejumlah negara lain.
Direktur Eksekutif
Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mendorong pemerintah agar mempercepat program diversiÂfikasi tujuan ekspor ke destinasi non tradisional.
"Langkah itu diperlukan untuk mengantisipasi resiko perang dagang yang diramal akan terus terjadi," imbuhnya.
Faisal meyakinkan potensi ekspor ke negara non tradisional memiliki potensi besar. Karena, sejauh ini nilainya masih kecil.
"Ekspor ke negara-negara tujuan utama mampu tumÂbuh 12,3 persen. Akan tetapi, ekspor ke negara non tradisional hanya tumbuh 1,4 persen," imbuhnya. ***
BERITA TERKAIT: