Aksi protes ini dilakukan di tengah sosialisasi Environmental and Social Framework (ESF) dengan membentangkan spanduk bertuliskan “World Bank & IMF are Fuelling and Profitting from Neo-Colonialismâ€.
Zainal Arifin Fuad dari Serikat Petani Indonesia (SPI) menyampaikan, alih-alih mengurangi kemiskinan, Bank Dunia justru menjadi aktor bagi kebijakan dan proyek pembangunan yang melanggar HAM dan merusak lingkungan.
Dia mengatakan, Bank Dunia juga memiliki kekebalan mutlak dan sulit dimintai pertanggungjawabannya atas berbagai krisis yang merupakan dampak dari model pembangunan yang eksploitatif.
"Aksi ini juga dilakukan untuk mengingatkan rakyat Indonesia akan jejak perampasan ruang hidup dan hak-hak dasar rakyat di berbagai wilayah akibat model pembangunan yang didorong oleh Bank Dunia dan juga IMF," ujar Zainal dalam siaran pers, Kamis (1/9).
Sigit Karyadi Budiono dari Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) menambahkan, salah satu proyek bermasalah selama 33 tahun hingga hari ini adalah kasus Kedung Ombo.
Dia memaparkan, pembangunan waduk yang dimulai sejak tahun 1985 saat rezim Orde Baru yang sentralistik dan militeristik masih berkuasa, dibiayai dari utang Bank Dunia senilai 156 juta dolar AS dan Bank Exim Jepang 25,2 juta dolar AS.
Proyek tersebut telah menggusur setidaknya tanah seluas 7.394 hektare hak milik dari 5.823 Kepala Keluarga, yang bermukim di 37 desa di tujuh kecamatan yang berada pada tiga kabupaten yaitu Boyolali, Grobogan dan Sragen, Provinsi Jawa Tengah.
"Hingga kini persoalan ganti rugi masih terus ditagih oleh masyarakat korban pembangunan bendungan kepada Bank Dunia dan pemerintah," ujar Sigit.
Berbagai kasus utang dan intervensi perubahan kebijakan telah mengakibatkan penderitaan rakyat di berbagai sektor. Sigit menceritakan, tahun 1999 merupakan penanda perubahan besar pada sektor air.
Munculnya kebijakan untuk melakukan reformasi sektor sumberdaya air di Indonesia dimulai dengan dorongan oleh Bank Dunia melalui Water Resources Sector Adjustment Loan Project (Watsal).
Melalui proyek utang senilai senilai 300 juta dolar AS, Bank Dunia mendorong perubahan pada aspek pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan layanan.
"Privatisasi, komersialisasi hingga korporatisasi menjadi agenda utamanya. Akibatnya rakyat miskin di perkotaan hingga petani di pedesaan menanggung penderitaan tidak memiliki akses air yang baik," ujarnya.
Teguh Maulana dari Indonesia for Global Justice, menyatakan kehadiran Bank Dunia melalui proyek yang didanainya untuk mendorong perubahan kebijakan sangat mengancam kedaulatan negara.
"Di antaranya dengan mendorong kebijakan investasi yang melemahkan kedaulatan negara, dimana kedua institusi tersebut mengharuskan setiap negara membuat kebijakan investasi yang membuka akses pasar seluas-luasnya di negara berkembang bagi investor," ujar Teguh.
[wid]