"Saya khawatir impor beÂras akan berimbas negatif. Defisit perdagangan bisa melebar dan kontradiktif terhadap rencana pemerinÂtah untuk mengendalikan barang impor. Dampaknya bisa melemahkan nilai tuÂkar rupiah dan akhirnya dampaknya kemana-mana," kata Bhima kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Bhima menilai, pangkal masalah polemik impor beras masih sama seperti sebelumnya. Yakni masalah ketidakakuratan data pangan.
Direktur Penelitian
CenÂter of Reform on Economics (CORE) Indonesia MohamÂmad Faisal juga menilai sama. Menurutnya, impor beras akan membebani neraca perdagangan.
Namun demikian, Faisal memiliki pandangan lain soal stok beras. MenurutÂnya, beras impor diperlukan karena kinerja produksi lokal meragukan.
"2015 kita impor beras. Pada tahun berikutnya 2016 tidak impor karena sisa stok impor masih ada. Saat tidak impor itu diklaim swasembada. Tapi awal 2017, kita impor lagi. Dan, 2018 impor lagi," ungkap Faisal.
Dia menilai, pasokan beÂras impor diperlukan untuk mencegah kenaikan harga. "Jika ketersediaan stok makin menipis, harga akan naik. Pemerintah membutuhkan tambahan stok untuk mencegah terjadi dorongan inflasi pangan akibat kenaikan harga beÂras," ujarnya.
Anggota Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir meÂnyatakan mendukung impor beras. Dia menepis impor dilakukan karena produksi nasional belum mencukupi permintaan.
"Banyak panen raya. Tetapi masalahnya di sini, banyak beras dibeli pengusaha. Mereka yang atur pasokan beras. Impor beras diperlukan untuk mengenÂdalikan harga beras agar tidak bergerak liar," ungkap Inas. ***
BERITA TERKAIT: