Impor Beras Bak Buah Simalakama

Bebani Neraca Perdagangan

Kamis, 23 Agustus 2018, 09:14 WIB
Impor Beras Bak Buah Simalakama
Foto/Net
rmol news logo Keputusan pemerintah menambah impor beras sebanyak 1 juta ton bagaikan makan buah simalakama. Neraca perdagangan bakal terbebani. Jika tidak dilakukan, harga komoditas tersebut dikhawatirkan bergejolak.

 Pangkal masalah impor beras yakni simpang siur data produksi nasional.

Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal meragukan klaim swasembada beras yang digembar-gemborkan pemerintah. Hal tersebut, menu­rutnya, tercermin dari pola impor yang dilakukan pemerintah.

"2015 kita impor beras. Pada tahun berikutnya 2016 tidak impor karena sisa stok impor masih ada. Saat tidak impor itu diklaim swasembada. Tapi awal 2017, kita impor lagi. Dan, 2018 impor lagi," ungkap Faisal kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Faisal menuturkan, impor be­ras saat ini tentu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Saat ini neraca perdagangan tengah mengalami defisit cukup parah. Sementara, beras merupakan salah satu bahan konsumsi yang memiliki pengaruh cukup besar untuk defisit perdagangan.

Namun demikian, lanjut Faisal, beras impor dibutuhkan. Karena, masa panen sudah lewat. Pemerintah akan kesulitan men­cari pasokan untuk memenuhi kekurangan stok.

"Jika ketersediaan stok makin menipis, harga pasti akan naik. Pemerintah membutuhkan tam­bahan stok untuk mencegah terjadi dorongan inflasi pangan akibat kenaikan harga beras," ujarnya.

Faisal menyesalkan hingga kini pengelolaan pangan na­sional masih begitu-begitu aja. Masing-masing instansi pemerintah masih memiliki cara hitung produksi dan kebutuhan nasional sendiri-sendiri sehingga akhirnya pengambilan kebijakan pangan tidak akurat.

Sementara itu, Anggota Fraksi Hanura Inas Nasrullah Zubir menyatakan mendukung impor beras. Dia menepis impor dilaku­kan karena produksi nasional belum mencukupi permintaan.

"Banyak panen raya. Tetapi masalahnya di sini, banyak beras dibeli pengusaha. Mereka yang atur pasokan beras. Impor beras diperlukan untuk mengendalikan harga beras agar tidak bergerak liar," ungkap Inas.

Inas meminta, Perum Bulog bisa memainkan peranannya mengedalikan pasokan dan harga beras. Sebab saat ini harga ko­moditas tersebut masih tinggi.

Stok Aman 10 Bulan

Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Siti Kuwati menepis kabar stok beras menipis.

"Impor dilakukan pemerintah bukan berarti stok menipis. Cadangan Beras Pemerintah dalam kondisi aman dengan jumlah di atas 2 juta ton," ungkap Siti kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Dia menyebutkan, hingga 21 Agustus 2018, stok di Gu­dang Bulog tercatat 2.411.256 ton. Dengan asumsi kebutuhan penyaluran per bulan sebe­sar 250 ribu ton, stok tersebut masih aman hingga hampir 10 bulan ke depan. Menurutnya, pihaknya melakukan impor untuk melaksanakan penugasan pemerintah.


Seperti diketahui, pemerintah membuka kembali keran impor beras 1 juta ton. Jika ditotal, jumlah impor beras tahun ini mencapai 2 juta ton. Kemente­rian Perdagangan (Kemendag) menolak impor tersebut tam­bahan baru. Karena, sejak awal tahun kebutuhan beras impor 2 juta ton. Berbeda dengan Bu­log, Kemendag berlasan impor dilakukan karena stok menipis. Bulog hanya memiliki 900 ribu ton.

Sebelumnya, Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengaku kecewa dengan kebijakan pe­nambahan impor beras. Karena, menurutnya, kebijakan tersebut akan merugikan petani.

"Pada saat realisasi beras impor tahap Idan II, harga gabah menurun.Kami khawatir kalau ada tambahan beras impor 1 juta ton lagi, harga Gabah Kering Panen (GPK) akan jatuh," ungkap Winarno.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA