Ketua Bidang Home AppliÂances Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel SuÂhardiman mengatakan, kinerja industri elektronik merosot sekitar 10 persen. "Masyarakat semakin cerdas dan tidak lagi konsumtif untuk elektronik. Pola konsumsi masyarakat berubah," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I-2018, kinerja sektor ini terkoÂreksi 2,41 persen. Kondisi ini melanjutkan tren perlambatan pertumbuhan pada kuartal terakhir tahun lalu sebesar 0,27 persen.
Daniel mengungkapkan, daya beli masyarakat tidak sebanding dengan jumlah keluarga di Indonesia yang terus bertamÂbah. "Permintaan tidak tumbuh, padahal keluarga di Indonesia tidak ikut berkurang dan malah bertambah," ungkapnya.
Selain itu, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) memÂbuat kualitas produk elektronik dalam negeri meningkat sehingga lebih tahan lama. Dengan demikian, usia produk yang dimiliki masyarakat bertambah panjang dan waktu replacement semakin mundur.
Daniel menambahkan, peleÂmahan nilai tukar rupiah terÂhadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor penurunan penjualan elektronik. Para proÂdusen terpaksa menaikkan harga jual karena 70 persen bahan baku merupakan produk impor.
"Belakangan ini beberapa merek sudah menaikkan harga. Dampaknya berasa. Pada Juli hingga Agustus, penjualan mulai lesu," jelasnya.
Ketua Umum Gabel Ali SubÂroto mengatakan, menaikan harga produk tidak bisa dihinÂdari. Namun, pengusaha tetap menerapkan siasat agar penÂjualan produk elektronik tetap tumbuh. "Kenaikan pasti hingga 2 persen, tetapi kalau biasanya nunggu model baru bisa. Tapi seÂmentara itu pengusaha menderita kerugian ya umum," ujarnya.
Ali mengaku, permintaan barang elektronik cenderung turun. Misalnya televisi yang permintaannya turun sekitar 10 persen sejak 2015.
"Produksi negatif, dari 2015 meÂmang negatif. Perkiraan sejak 2015 turun lebih dari 10 persen. Contoh kalau TV kebutuhan di atas 4 juta per tahun, sekarang tinggal 3,8 juta per tahun," ucap Ali.
Ia mengatakan, pola konsumsi masyarakat yang sekarang lebih banyak mengalokasikan pengeÂluaran untuk pariwisata bukan belanja barang menjadi faktor yang mempengaruhi penjualan. "Permasalahannya itu sulit, demand itu turun, orang sekaÂrang itu belanja di pariwisata. Jadi keinginan untuk memiÂliki barang berkurang. Jadi ada dampak internal dan eksternal," jelas Ali.
Pemerintah diharapkan bisa lebih banyak mendorong penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Hal itu akan berÂdampak positif pada industri di dalam negeri. "Solusinya berikan lapangan pekerjaan saja," pungkasnya.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan ElekÂtronika (ILMATE) KementeÂrian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan, industri elektronik perlu didukung agar terus berkembang. "Industri ini membawa multiplier effect bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan terhadap penyeraÂpan tenaga kerja," ujarnya.
Ia mengungkapkan, tahun ini jumlah populasi industri elektronik ditargetkan bisa lebih dari 72 unit usaha. Tahun lalu, total penyerapan tenaga kerja di industri elektronika sebanyak 202.000 orang, naik dibanding tahun 2016 yang mencapai 185.000 orang dan tahun 2015 sekitar 164.000 orang. Industri elektronik menyumbang hingga 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB). ***
BERITA TERKAIT: