Industri Elektronik Merana

Daya Beli Lesu, Rupiah Rontok

Senin, 13 Agustus 2018, 10:18 WIB
Industri Elektronik Merana
Foto/Net
rmol news logo Masih melemahnya nilai tukar rupiah dan daya beli masyarakat membuat industri elektronik kian merana. Tercatat, kinerja sektor ini terus merosot dari tahun ke tahun.

Ketua Bidang Home Appli­ances Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Su­hardiman mengatakan, kinerja industri elektronik merosot sekitar 10 persen. "Masyarakat semakin cerdas dan tidak lagi konsumtif untuk elektronik. Pola konsumsi masyarakat berubah," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), pada kuartal I-2018, kinerja sektor ini terko­reksi 2,41 persen. Kondisi ini melanjutkan tren perlambatan pertumbuhan pada kuartal terakhir tahun lalu sebesar 0,27 persen.

Daniel mengungkapkan, daya beli masyarakat tidak sebanding dengan jumlah keluarga di Indonesia yang terus bertam­bah. "Permintaan tidak tumbuh, padahal keluarga di Indonesia tidak ikut berkurang dan malah bertambah," ungkapnya.

Selain itu, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) mem­buat kualitas produk elektronik dalam negeri meningkat sehingga lebih tahan lama. Dengan demikian, usia produk yang dimiliki masyarakat bertambah panjang dan waktu replacement semakin mundur.

Daniel menambahkan, pele­mahan nilai tukar rupiah ter­hadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor penurunan penjualan elektronik. Para pro­dusen terpaksa menaikkan harga jual karena 70 persen bahan baku merupakan produk impor.

"Belakangan ini beberapa merek sudah menaikkan harga. Dampaknya berasa. Pada Juli hingga Agustus, penjualan mulai lesu," jelasnya.

Ketua Umum Gabel Ali Sub­roto mengatakan, menaikan harga produk tidak bisa dihin­dari. Namun, pengusaha tetap menerapkan siasat agar pen­jualan produk elektronik tetap tumbuh. "Kenaikan pasti hingga 2 persen, tetapi kalau biasanya nunggu model baru bisa. Tapi se­mentara itu pengusaha menderita kerugian ya umum," ujarnya.

Ali mengaku, permintaan barang elektronik cenderung turun. Misalnya televisi yang permintaannya turun sekitar 10 persen sejak 2015.

"Produksi negatif, dari 2015 me­mang negatif. Perkiraan sejak 2015 turun lebih dari 10 persen. Contoh kalau TV kebutuhan di atas 4 juta per tahun, sekarang tinggal 3,8 juta per tahun," ucap Ali.

Ia mengatakan, pola konsumsi masyarakat yang sekarang lebih banyak mengalokasikan penge­luaran untuk pariwisata bukan belanja barang menjadi faktor yang mempengaruhi penjualan. "Permasalahannya itu sulit, demand itu turun, orang seka­rang itu belanja di pariwisata. Jadi keinginan untuk memi­liki barang berkurang. Jadi ada dampak internal dan eksternal," jelas Ali.

Pemerintah diharapkan bisa lebih banyak mendorong penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Hal itu akan ber­dampak positif pada industri di dalam negeri. "Solusinya berikan lapangan pekerjaan saja," pungkasnya.

Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elek­tronika (ILMATE) Kemente­rian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto mengatakan, industri elektronik perlu didukung agar terus berkembang. "Industri ini membawa multiplier effect bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan terhadap penyera­pan tenaga kerja," ujarnya.

Ia mengungkapkan, tahun ini jumlah populasi industri elektronik ditargetkan bisa lebih dari 72 unit usaha. Tahun lalu, total penyerapan tenaga kerja di industri elektronika sebanyak 202.000 orang, naik dibanding tahun 2016 yang mencapai 185.000 orang dan tahun 2015 sekitar 164.000 orang. Industri elektronik menyumbang hingga 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB). ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA