Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, Indonesia perlu mencerÂmati perkembangan perang daÂgang yang terjadi. Dengan adanÂya perang dagang, kemungkinan ekspor dan impor antar negara, bahkan perdagangan global bisa terganggu. Salah satu dampak yang akan terasa adalah penuÂrunan ekspor dan impor. Hal itu berimbas bagi pertumbuhan ekonomi kedua negara.
Sedangkan di sektor keuangan, sambung Perry, perkembangan perang dagang di AS akan memÂbuat Bank Sentralnya (
Federal Reserve/The Fed) berpeluang untuk kembali menaikkan suku bunganya, sehingga mata uang dolar AS akan semakin perkasa.
"Ketegangan kedua negara ini akan menimbulkan respons kebijakan moneter yang ada di Amerika dengan suku bunga lebih tinggi, risiko di pasar keuangan juga tinggi, dan itu membuat penarikan modal di negara-negara berkembang, terÂmasuk Indonesia," terang Perry kemarin di Jakarta.
Oleh sebab itu, kata Perry, meningkatnya ketidakpastian di pasar global mendesak sejumlah negara untuk memastikan pasar keuangannya tetap berdaya saÂing. Hal ini juga yang telah menÂdorong BI mengerek suku bunga acuannya hingga 100 basis points (bps), menjadi 5,25 persen.
"Strategi yang tepat adalah bagaimana di Indonesia memÂperkuat permintaan domestik dan mengendalikan bagaimana defisit transaksi berjalan, serta mendorong arus masuk modal asing. Itu yang sedang kita lakuÂkan," tuturnya.
Dengan berkoordinasi denÂgan pemerintah serta Otoritas Jasa Keuangan, BI akan selalu memastikan ekonomi Tanah Air kuat dan stabil, dan mencari terobosan baru dalam mendorÂong pariwisata serta ekspor produk yang berdaya saing tinggi. "Semua itu yang kita lakukan, termasuk relaksasi LTV (
loan to value) kemarin untuk mendorong permintaan dalam negeri," cetusnya.
Dihubungi terpisah, Ekonom dari
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebutkan, perang dagang AS-China akan memukul ekspor komoditas unggulan seperti CPO (
Crude Palm Oil) dan karet. PadaÂhal, kedua komoditas primer terseÂbut berkontribusi sebesar 16 persen dari total ekspor non migas.
"Posisi Indonesia yang berada di rantai pasok paling bawah sebagai pemasok bahan baku industri, menjadi sebab utama mengapa Indonesia rentan terhÂadap perang dagang," kata BhiÂma kepada
Rakyat Merdeka. Jika pemerintah Indonesia ikut melakukan retaliasi alias pemÂbalasan dagang dengan naikan tarif bea masuk produk asal AS, tentu efeknya ke kenaikan harga bahan kebutuhan pokok akan langsung terasa.
Bahkan sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam bakal mengenakan tarif ke-124 produk asal IndoneÂsia, menyusul defisit yang terjadi pada Amerika dalam hubungan dagang dengan Indonesia.
"Saat ini Indonesia mengimpor kedelai segar dan olahan hingga 6,9 juta ton pada 2017. Dari AS sendiri impor kedelainya menÂcapai 2,6 juta ton atau 37 persen total impor kedelai. Bahan baku kedelai harganya naik, pasti harga tempe tahu akan naik juga. Yang akan terpukul pertama kali adalah kelompok masyarakat miskin," warning Bhima.
Perang dagang, akan berisiko pada turunnya kinerja ekspor, defisit perdagangan pun sangat mungkin berlanjut di semester kedua. "Karena ekspor melamÂbat, sementara impornya naik, maka permintaan valas semakin tinggi. Ujungnya rupiah rentan terdepresiasi," imbuhnya.
Sebagai langkah antisipasi, lanjut Bhima, jika pasar ekspor ke AS dan China terganggu, maka bisa dialihkan ke negara lain yang lebih prospektif. Selain itu, mengenai misi dagang juga perlu ditingkatkan.
Neraca Perdagangan Indonesia Diramal Surplus BI memperkirakan, neraca perdagangan Indonesia di Juni 2018 akan mencatatkan surplus sebesar 900 juta dolar AS (Rp 12,8 triliun), atau membaik bila dibandingkan dengan neraca perdagangan Mei 2018 yang tercatat masih mengalami defisit sebesar 1,52 miliar dolar AS (Rp 21,75 triliun).
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, membaiknya neraÂca perdagangan tersebut sejalan dengan sudah meredanya tren impor Indonesia.
Pada bulan sebelumnya, neraÂca perdagangan yang defisit lebih disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan impor, khususnya untuk sektor infrastruktur dan bahan makanan.
"Itu perkembangan impor yang memang secara perkemÂbangan dan musiman, karena menjelang Lebaran. Dengan mulai meredanya itu, memang neraca perdagangan akan alami surplus," katanya.
Menurutnya, neraca perdaganÂgan Indonesia Mei 2018 yang defisit sebesar 1,52 miliar dolar AS (Rp 21,75 triliun), menurun dibandingkan dengan defisit neÂraca perdagangan di April 2017 yang tercatat sebesar 1,63 miliar dolar AS (Rp 23,33 triliun), yang didorong oleh penurunan defisit neraca perdagangan nonmigas yang lebih besar dibanding denÂgan peningkatan defisit neraca perdagangan migas. ***
BERITA TERKAIT: