Bercermin dari data akhir Mei 2018, OJK mencatat NPL perbankan justru masih terjaga di level 2,6-2,7 persen. Bila dibandingkan dengan akhir April 2018, jumlah ini cenderung membaik dari posisi 2,79 persen.
Namun Ekonom dari
Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira punya pandangan lain. Menurutnya, kenaikan repo rate minggu ini bisa menÂdorong peningkatan NPL. SeÂbab, kenaikan bunga BI secara perlahan, akan ditransmisikan pada kenaikan bunga kredit perbankan.
"Maka, NPL juga dikhawatirkan naik di atas 2,9 persen dalam jangka panjang. KebiÂjakan itu mau tak mau memicu kenaikan bunga kredit dan berdampak jangka panjang terÂhadap NPL," imbuhnya kepada
Rakyat Merdeka.
Bunga yang mahal, sambung Bhima, bakal membuat
cost of borrowing pelaku usaha dan masyarakat turut terkerek naik. Efek kontraktifnya bakal dirasakan oleh sektor riil lanÂtaran masyarakat menahan belanjanya.
"Kalau terus tinggi, masyarakat mau pinjam KPR, kredit kendaraan, kartu kredit akan berpikir ulang karena bunga mahal," cetus Bhima.
Ia menyarankan, pemerinÂtah dan Bank Sentral dapat menahan bunga kredit dengan berbagai bauran kebijakan makroprudensial. Lebih jauh bank diharapkan tak perlu baku hantam dalam memperebutkan dana murah.
Menyoal ini, Presiden DirekÂtur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja membantah risiko kenaikan NPL. Katanya, kenaikan suku bunga tak secara langsung memberi dampak pada naiknya NPL.
"Kenaikan NPL lebih dipenÂgaruhi oleh industri yang terpuÂruk. Bukan karena meningkatÂnya suku bunga terutama bunga kredit," terang Jahja kepada
Rakyat Merdeka. Ia mencontohkan di 2015 misalnya, tren suku bunga kredit terbilang tinggi namun NPL masih dapat terjaga. HanÂya saja, pada tahun yang sama industri pertambangan secara makro mengalami keterpuruÂkan alias harga komoditas yang menurun.
Selain bisnis perusahaan pertambangan menurun, hal ini juga berdampak pada menurunÂnya kualitas pada perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan produk pertambangan.
"Kalaupun suku bunga secara industri naik 3-4 persen, NPL perbankan masih akan berada dalam kategori aman," ujar Jahja.
Senada, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Maryono mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI tidak akan langsung menaikkan NPL perbankan.
"BTN sudah melakukan mitiÂgasi risiko dan menjalankan sejumlah strategi bisnis guna menekan laju NPL, di tengah kondisi seperti sekarang. MisÂalnya dengan selektif dalam penyaluran kredit dengan peÂnilaian profil risiko yang diperÂketat," kata Maryono.
Meski tren suku bunga terus meningkat, Maryono mengaku tetap optimistis tren rasio NPL BTN bakal menurun. Sebagai catatan, hingga kuartal II 2018, rasio NPL berada di bawah level 2,6 persen.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Wimboh Santoso bilang, ekonomi dalam negeri cukup positif karena ditopang kenaikan sejumlah harga koÂmoditas. Kondisi itu berpotensi membuat perusahaan berbasis komoditas meraup untung lebih tinggi dari sebelumnya.
Karena itu ia yakin tren NPL akhir-akhir ini tercatat menurun.
"Justru trennya sudah menuÂrun sebanyak tiga kali, karena ekonomi kan mulai menggeliat. Harga batu bara sudah mulai meningkat," kata Wimboh.
Ia pun memastikan, belum akan mengubah target pertumÂbuhan kredit pada tahun ini sebesar 12 persen. Target terseÂbut jauh lebih tinggi dibanding tahun lalu sebesar 8,1 persen.
Untuk itu OJK memiliki beÂberapa pogram demi mengerek pertumbuhan kredit melalui Usaha Mikro, Kecil dan MeÂnengah (UMKM). Penyaluran kredit, lanjut Wimboh, juga akan fokus di beberapa sekÂtor yang berorientasi ekspor, seperti pariwisata, perikanan, perkebunan, dan pertambanÂgan. ***
BERITA TERKAIT: