Menurut pengamat teknologi informasi Heru Sutadi, perlu ada perspektif berbeda dari kegiaÂtan keuangan yang selama ini dijalankan fintech.
Peer to Peer (P2P) lending, misalnya, adalah proses pembiayaan biasa yang terjadi di perbankan. PerbedaanÂnya hanya ada pada prosesnya menjadi lebih cepat.
"Lantas? Apakah kita menyeÂbut (fintech) sebagai rentenir? Kan tidak. Sepanjang itu transÂparan dan peminjam suka atau setuju, mengapa tidak? Bahkan yang meminjamkan kan sebeÂnarnya juga berisiko duit mereka tidak dikembalikan," terang Heru kepada
Rakyat Merdeka.
Untuk itu Heru mengimbau, agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu berhati-hati dalam menanggapi keuangan model baru. "Dan berpikir
out of the box sesuai zaman sekarang," katanya.
Ekonom dari
Institute for Develepoment of Economin and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara mengakui, pesatnya perkembangan fintech di Tanah Air memang tidak bisa dibendung. Bahkan ada yang berangÂgapan, lambat laun kehadiran fintech akan menggantikan perÂanan perbankan.
"Sebenarnya kehadiran fintech bukan ancaman. Mereka sebeÂnarnya bisa membantu industri perbankan jika mereka (fintech & perbankan) berkolaborasi," imbuhnya.
Setidaknya ada tiga strategi yang bisa dilakukan perbankan untuk menghadapi gempuran fintech, yaitu dengan cara inkubasi, akuiÂsisi dan kolaborasi. "Kalau akuisisi mahal, ya paling murah kolaborasi. Dengan begitu mereka kan bisa jalan sendiri-sendiri tapi bisa tetap bekerja sama," kata Bhima.
Karena jika fintech tetap diÂanggap sebagai kompetitor, lanÂjut Bhima, maka intensitas perÂsaingan berpotensi menggerus profitabilitas perbankan. SebaÂliknya, jika dirangkul, sinergi akan berpotensi meningkatkan penetrasi pasar, produk baru dan jangkauan yang meningkatkan profitabilitas (laba).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Adrian Gunadi bilang, mau tidak mau meÂmang harus diakui, fintech terus mengalami perkembangan pesat. Di tahun ini saja, jumlah perusaÂhaan fintech yang ada di Indonesia tumbuh hampir 10 kali lipat atau sebanyak 135 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi.
Dari jumlah tersebut, ada sekiÂtar lima sektor fintech yang berdiri, yakni
payment lending, capital market, market profesionÂing (
agregator) dan
insurance. Perkembangan pesat fintech juga terlihat dari positifnya kinerja dari fintech. Hingga Januari 2018 lalu saja, pertumbuhan volume bisnis mencapai Rp 3,5 triliun.
"Perkembangan pesat fintech tidak terlepas dari beberapa fakÂtor. Mulai dari inklusi keuangan yang masih rendah, hingga inÂfrastruktur telekomunikasi yang sudah berubah dalam lima tahun terakhir," ucapnya.
Rendahnya inklusi keuangan dari masyarakat, kata Adrian, membuat fintech jadi alternatif. Karena melalui fintech, masyarakat akhirnya bisa mengeÂtahui dan terdaftar namanya sebagai nasabah. Selain itu, faktor lainya adalah masih ada kredit gap khususnya bagi para pengusaha usaha menengah keÂcil dan mikro (UMKM).
"Terbatasnya akses perbankan membuat para pelaku UMKM mencari pembiayaan lain, salah satunya adalah dengan fintech," ujarnya.
Selanjutnya adalah, Indonesia memiliki bonus demografi yang sangat luar biasa. Jumlah penÂduduk Indonesia saat ini merupaÂkan yang terbanyak nomor empat di dunia. Kemudian, faktor perkembangan teknologi komuÂnikasi. Menurutnya, perkembangan teknologi dengan adanya internet menjadikan fintech semakin berkembang pesat.
"Fintech sendiri bisa diakses melalui handphone maupun laptop atau PC yang terhubung dengan internet. Tanpa itu, finÂtech tidak akan bisa sebesar ini," tutur Adrian. ***
BERITA TERKAIT: