Harga Batu Bara Nggak Diatur, PLN Bakal Merugi Rp 21 Triliun

Kamis, 08 Maret 2018, 11:25 WIB
Harga Batu Bara Nggak Diatur, PLN Bakal Merugi Rp 21 Triliun
Foto/Net
rmol news logo PT Perusahaan Listrik Negara/PLN (Persero) terus berupaya melakukan efisiensi sambil menunggu pemerintah mengatur harga batu bara khusus kelistrikan. Perseroan bakal merugi Rp 21 triliun bila pemerintah tidak menaikkan tarif listrik sampai tahun 2019.

Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengatakan, keuangan PLN tergerus senilai Rp 16 triliun pada tahun lalu karena tarif listrik tidak naik.

Sementara biaya pokok produk­si listrik mengalami kenaikan seiring terus meningkatnya harga batu bara dan minyak.

"PLN bisa merugi Rp 21 triliun karena tidak ada kenaikan tarif listrik sampai 2019. Tahun lalu, perseroan mengalami keru­gian Rp 16 triliun," kata Sofyan, di Jakarta, Selasa (6/3).

Untuk menghindari kerugian, pemerintah perlu mengeluar­kan kebijakan harga batu bara khusus untuk kelistrikan.

Menurutnya, perseroan sudah melaporkan kondisi tersebut ke pemerintah, yakni Kementerian Keuangan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kemen­terian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Bagaimana tarif untuk masyarakat tidak naik, harapannya itu. Tarif industri tidak naik, karena daya beli melemah. Kalau industri berhenti, angka pengang­guran bakal tinggi," katanya.

Ia menilai, penetapan harga khusus batu bara untuk sektor kelistrikan bisa menekan biaya pokok produksi listrik.

Alhasil, katanya, perseroan bisa menghindari kerugian dan tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur.

Di sisi lain, perseroan tetap melakukan berbagai langkah efisiensi yang diperkirakan bisa menghemat Rp 6,5 triliun. Ia mencontohkan, penutupan pem­bangkit listrik yang biaya pokok produksinya mahal. Selanjutnya, pasokan listrik dari pembangkit tersebut digantikan pembangkit yang biaya pokok produksinya lebih murah.

"Ini kita bicara dimatiin pem­bangkit mahal. Pembangkit mahal diganti murah, gas diganti batu bara. Transmisinya dibangun," katanya.

Upaya efisiensi lainnya yang dilakukan PLN adalah membuat zonasi angkutan batu bara untuk sumber bahan bakar pembangkit listrik. Hal ini dimaksudkan untuk memangkas biaya trans­portasi batu bara.

"Ada zonasi untuk angkutan kapal untuk batu bara, nggak ada lagi Kalimantan ke Sumatera nggak boleh. Potensi efisiensi lainnya masih kita cari lagi," akunya.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Indonesia Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, pemerintah turut bertanggung jawab menjaga perusahaan pelat merah agar tidak merugi, ter­masuk PLN.

Sebab, aturan atau kebijakan terkait harga batu bara sangat penting karena bisa mencegah tarif listrik terus naik, mengingat kontribusi pembangkit listrik yang menggunakan batu bara sebagai energi primer sangat besar, sampai 60 persen.

Sementara, kontribusi pem­bangkit listrik yang menggu­nakan batu bara sebagai energi primer ini membuat naik-tu­runnya harga batu bara dalam setahun terakhir sehingga bisa meningkatkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik secara signifikan.

"Kalau pemerintah sudah mengeluarkan aturan tidak menaikkan harga listrik, harus ada alternatif lainnya biar nggak rugi BUMN kita. Salah satunya, ya harga batu bara ini harus diatur," katanya kepada Rakyat Merdeka.

Ia pun membandingkan, pe­merintah sebelumnya juga telah mengatur khusus harga gas yang murah untuk industri. Ia berharap, pemerintah bisa menerapkan kebijakan serupa untuk batu bara.

"Apabila pemerintah mampu membuat peraturan khusus harga gas yang murah untuk sektor in­dustri, maka pemerintah juga di­tuntut dapat bersikap sama untuk menetapkan harga khusus batu bara bagi PLN," imbuhnya.

Pemerintah tidak hanya dapat melindungi kepentingan rakyat­nya, tetapi juga bisa menjaga perusahaan BUMN. Untuk dike­tahui, kebutuhan batu bara untuk pembangkit yang dioperasikan PLN maupun IPP dalam setahun sekitar 70 juta ton.

Jumlah itu meliputi 50 juta ton untuk pembangkit listrik milik PLN dan 20 juta ton dari pembangkit listrik swasta (Inde­penden Power Producer/ IPP).

Sementara Harga Batubara Acuan (HBA) untuk Januari 2018 ditetapkan sebesar 95,54 dolar Amerika Serikat (AS) per ton. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA