Awas, Anggaran Belanja Barang & Jasa Digarong

Selasa, 27 Februari 2018, 11:30 WIB
Awas, Anggaran Belanja Barang & Jasa Digarong
Foto/Net
rmol news logo Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap­kan, anggaran belanja barang dan jasa senilai Rp 86 triliun lebih tidak diumumkan kepada publik dari total anggaran be­lanja barang dan jasa pemer­intah tahun 2017 sebesar Rp 994 triliun.

Padahal pada 2017 ada 241 kasus korupsi pengadaan ba­rang dan jasa yang menjerat 119 orang dengan kerugian negara senilai Rp 1,5 triliun.

Staf Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah memaparkan, ada beberapa kementerian dan lembaga yang tidak mengu­mumkan sebagian lelangnya kepada publik dan ada pula yang tidak mengumumkan total anggaran belanja barang dan jasanya kepada publik.

Di antaranya, Kementerian Keuangan senilai Rp18 triliun, Kementerian Kesehatan sebe­sar Rp 6 triliun, dan Pemprov DKI Jakarta Rp 5 triliun.

Sementara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian PUPR, dan KKP total anggarannya tidak dibuka pada publik sehingga tidak bisa dihitung berapa anggaran be­lanja barang dan jasa yang tidak diumumkan kepada publik.

"Anggaran belanja barang dan jasa yang tidak diumum­kan pada publik berpotensi dikorupsi karena tidak trans­paran," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Padahal berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) no. 54 tahun 2010, seluruh belanja barang dan jasa harus diumum­kan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) melalui monev.lkpp.go.id.

Namun berdasarkan situs tersebut, belanja barang dan jasa pemerintah tahun 2017 hanya senilai Rp 994 triliun dan yang diumumkan di RUP hanya Rp 908,7 triliun. "Jadi, ada sekitar Rp 86 triliun lebih anggaran belanja barang dan jasa tidak diumumkan pada publik," kata Wana.

Sementara, pada 2017 ko­rupsi pengadaan barang dan jasa ada sebanyak 241 kasus dengan 119 pelaku yang se­luruhnya berlatar belakang sebagai panitia pengadaan. Nilai kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 1,5 triliun. Modusnya antara lain,penyalahgunaan anggaran sebanyak 67 kasus, mark up sebanyak 60 kasus, dan kegia­tan atau proyek fiktif sebanyak 33 kasus.

Terkait hal ini, ICW mereko­mendasikan agar pemerintah bersama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) mengopti­malkan penggunaan e-catalog, e-purchasing untuk meminimalisir terjadinya potensi ko­rupsi mulai dari tahap perencanaan.

Kemudian agar setiap ke­menterian, lembaga, dan pe­merintahan mematuhi reko­mendasi yang dikeluarkan LKPP bila ditemukan adanya potensi pelanggaran atau keru­gian negara yang ditimbulkan terkait dengan pengadaan ba­rang dan jasa.

"Selanjutnya, institusi penegak hukum juga perlu menerapkan pengenaan pasal pencucian uang bagi korporasi yang terbukti melakukan tin­dak pidana korupsi agar aset yang dimiliki dapat dirampas dan dikembalikan ke negara," tandas Wana.

Direktur Penanganan Permasalahan Hukum LKPP, Setya Budi, mengaku prihatin dengan fakta yang diungkap ICW. Dia menyatakan data tersebut benar adanya, bahkan masyarakat bisa mengecek lang­sung di situs monev.lkpp.go.id.

"Saya melihat data tadi prihatin, karena di tengah keterbukaan ini tetapi masih ada yang tidak melaporkan," katanya.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA