Ketua AIKI Sindra Wijaya mengatakan, pihaknya menÂcatat tahun lalu impor hasil olahan kakao yang masuk ke Indonesia mencapai 226 ribu ton. Angka tersebut naik hampir 300 persen dari tahun sebelumnya. "Kenaikan yang sangat fantastis, hampir 300 persen," ujarnya, kemarin.
Ia mengatakan, serangan haÂsil olahan impor yang semakin meningkat membuat beberapa pabrik kakao berhenti beropÂerasi. "Dulu pabrik kakao hampir mencapai 30 lebih, saat ini hanya tersisa 20 pabrik di seluruh Indonesia. Semakin lama, semakin berkurang," ungkapnya.
Sebenarnya kualitas biji kakao dalam negeri dan impor masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri. Untuk keunggulan biji kakao dalam negeri mealting point-nya tinggi, sehingga tidak mudah leleh. Sementara biji kakao impor mempunyai aroma yang cukup bagus dan sudah diferÂmentasi sehingga kandungan lemaknya tinggi.
"Artinya, kalau nanti diperÂmudah impor biji kakao pun kita masih butuh kakao dalam negeri. Kita tidak akan bisa tinggalkan biji kakao dalam negeri. Oleh karena itu dua-duanya dibutuhkan, namun porsi impornya saja yang harus diperkecil," katanya.
Sindra berharap, pemerintah khususnya Kementerian PerÂtanian (Kementan) konsisten kembangkan anggaran untuk industri kakao. Sehingga kualÂitas dan produksi kakao dalam negeri semakin meningkat.
"Saat ini produktivitas makin rendah dan harga kakao jatuh, kami khawatir petani akan tinggalkan kakao. Kalau petani tinggalkan, pasti akan punah kakao di Indonesia," tegas Sindra.
Selain itu, AIKI juga berÂharap pemerintah permudah impor biji kakao bukan hasil olahan. Pasalnya, pabrik di dalam negeri tidak sanggup memenuhi kebutuhan yang cukup besar.
"Seharusnya pemerintah harus permudah impor biji kakao, karena nantinya hasil olahan biji kakao impor akan kembali kita ekspor. Ini sangat mendukung program Presiden Jokowi untuk tingkatkan ekÂspor, karena 80 persen hasil olahan biji kakao untuk dieskÂpor," tuturnya.
Kepala Balai Besar PeneliÂtian dan Pengembangan Pasca Panen Kementan Risfaheri mengatakan, pemerintah saat ini masih fokus meningkatkan produksi pangan. Sementara komoditas perkebunan seperti kakao belum mendapat perhaÂtian khusus.
"Memang konsentrasi terbeÂsar Kementerian Pertanian unÂtuk pangan. Bukan tidak ada (prioritas untuk kakao). Tapi yang terbesar saat ini untuk pangan," ujar Risfaheri.
Menurutnya, penurunan produksi terjadi karena banyak tanaman kakao yang sudah tua dan tidak produktif, sehingga hasil panen sedikit. "Banyak tanaman kakao kita sudah tua. Proses peremajaannya kurang maksimal ya," ungkapnya.
Gerakan Nasional (Gernas) Kakao yang dicanangkan peÂmerintah beberapa tahun lalu juga diakui Risfaheri tidak terlalu berhasil. "Memang kemarin ada program Gernas Kakao tapi tidak maksimal keÂlihatannya. Kita mengharapÂkan ada peningkatan ternyata tidak," ujar Risfaheri.
Meski demikian Risfaheri mengatakan pemerintah tetap melakukan Gernas Kakao. "Hanya saja program ini meÂmang bukan prioritas utama pemerintah," tukasnya. ***
BERITA TERKAIT: