Bisnis Fintech P2P Syariah Diyakini Semakin Kinclong

Dewan Syariah & OJK Siapkan Aturannya

Rabu, 31 Januari 2018, 11:05 WIB
Bisnis Fintech P2P Syariah Diyakini Semakin Kinclong
Foto/Net
rmol news logo Potensi bisnis fintech yang menggarap layanan pinjam meminjam (peer to peer/P2P) lending berbasis syariah diyakini bakal kinclong. Namun sayangnya, masih sedikit pemain di dalamnya. Selain aturan regulator yang belum ada, sosialisasi yang belum masif soal fintech menjadi penghalangnya.
 
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indo­nesia (DSN-MUI) Adiwarman Azwar Karim mengatakan, saat ini sudah ada empat layanan fintech yang memang mengaju­kan pinjaman berbasis syariah. Namun, DSN-MUI belum mengatur bagaimana skemanya atau akad yang digunakan dalam P2P berbasis syariah.

"Seiring perkembangan teknolo­gi ini, membuka peluang memang fintech dengan layanan syariah. Namun kami masih membahas dan berdiskusi soal ini," ucap Adi­warman di acara diskusi bertajuk Menuju Fatwa Fintech Syariah di Jakarta, kemarin.

Adiwarman menjelaskan, fat­wanya mencoba merangkum se­mua jenis-jenis akad, kemudian P2P ijarah, dan lainnya, yang kemudian akan masuk dalam draf fatwa basic fintech syariah. Nantinya fatwa tersebut, lanjut Adiwarman, menjadi rujukan atau pedoman bagi fintech lain­nya dalam mengeluarkan layanan P2P lending syariah. Rencananya, fatwa itu pun dijadwalkan keluar dalam waktu dekat.

"Kapan fatwa akan keluar? Belum tahu pastinya kapan, tapi mudah-mudahan selesai Febru­ari ini. Untuk pilot project yang sudah bisa menjalankan bisnis P2P syariah ini memang baru Investree Syariah, tiga fintech lainnya belum bisa disebut," terangnya.

Adiwarman memprediksi, di tahun ini fintech P2P berbasis syariah akan terus booming. Hal ini seiring dengan berkembang­nya keuangan syariah, sehingga fintech berbasis syariah menjadi opsi menarik bagi para pelaku usaha terutama UMKM.

"Kan kalau (pinjam uang) di bank itu butuh waktu lama, belum aturannya yang ketat. Tapi kalau di fintech apalagi syariah, layanan lebih cepat dan aman, aksesnya jauh lebih gam­pang, simple, ketimbang dengan bank," imbuh pengamat dari Adiwarman Consulting ini.

Di kesempatan yang sama, Co-Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi mengatakan, konsep syariah sebenarnya dimulai sejak Juli 2017, termasuk akad dan kontrak. Selain itu, pengajuan proses pengajuan surat atau izin ke DSN-MUI sejak Agustus 2017, di mana merancang agar memenuhi kaidah syariah, dengan tetap pemenuhan teknologi.

"Kami memang jadi pilot project dari 2017, Modelnya pun sudah dibangun November 2017. Sementara di OJK, kami mendaftarkan produk di IKNB syariah. Alhamdulillah, Minggu kemarin (25 Januari 2018) sudah terdaftar di IKNB syariah. Dan bisa dibilang kami sebagai pelopor," ujarnya.

Adrian membeberkan, In­vestree di awal tahun ini telah mengantongi izin terdaftarnya layanan Investree Syariah dari Otoritas Jasa Keuangan, mela­lui Direktorat IKNB Syariah dengan nomor surat S-114/ NB.233/2018.

"Dari hasil uji coba layanan Investree Syariah, hingga Janu­ari 2018 ini, jumlah pembiayaan Investree Syariah telah mencapai Rp 2,7 miliar dengan jumlah 313 Borrower (peminjam) Syariah dan 1,340 Lender (pemberi pin­jaman) Syariah," rincinya.

Selain itu, sambung Adrian, tak hanya mengeluarkan produk P2P syariah, di tahun ini juga, Investree ditunjuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu fintech P2P yang menjual SBN ritel secara online, rencananya penjualan minimal Rp 100 ribu.

"Ke depan, memang kami meli­hat potensi syariah dan penjualan SBNritel ini sangat besar. Kami pun berharap, fintech P2P ini terus berkembang,"  terang Adrian.

Menyoal ini, Direktur Pengaturan Perizinan dan Penga­wasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menjelaskan, didaftar­kannya produk layanan P2Pber­basis syariah dan penjualan SBN ritel melalui fintech, membuat OJK harus melakukan peruba­han di Peraturan OJK (POJK) sebelumnya. Lantaran dua hal itu yang memang belum diatur secara rinci di POJK No. 77/ POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Lang­sung Berbasis Teknologi.

"Aturan yang selama ini men­jadi dasar pedoman fintech itu, dalam ketentuannya, memang belum diatur bentuk penyeleng­garaan P2P lending berbasis sya­riah. Makanya, regulator merasa perlu melakukan perubahan di POJK tersebut, termasuk agar fintech bisa menjual SBN ritel," jelas Hendrikus.

Ia melihat, ke depan, memang potensi pendanaan untuk layanan jasa fintech berbasis di Indo­nesia dinilai sangat signifikan. Terutama sebagai negara Muslim terbesar di dunia, maka tentu kehadiran industri pendanaan syariah akan selalu mendapat pri­oritas pengembangan, termasuk penyesuaian regulasi jika dipan­dang perlu segera dilakukan.

Hendrikus menegaskan, pe­rubahan POJK tersebut, juga seiring dengan kebijakan pemerintah, sehingga diberi ruang agen penjual SBN ritel guna mendukung program pemerintah meningkatkan inklusi keuangan.

Menurut rencana, Kemenkeu target penjualan SBN ritel itu akan dilakukan pada April 2018. Namun sebelum deadline waktu tersebut, OJK, kata Hendrikus, berupaya akan menyelesaikan aturan POJK sebelum April 2018.

"Tapi kita masih berdiskusi. Namanya target, kita akan men­dukung, karena ada hal-hal yang perlu dilakukan. Yang penting itu prioritas perlindungan konsumen, transparansi, akuntabilitas dan re­sponsif. OJK dalam hal ini harus berlaku adil," tuturnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA