Peneliti dari Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menuturkan, proses penguatan sistem sertifikasi ISPO pada awalnya diharapkan mampu mendorong tata kelola kelapa sawit berkelanjutan dan mampu meningkatkan daya saing sektor kelapa sawit.
Akan tetapi, terjadi pengÂabaian terhadap proses multipihak dan isi draft rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Sistem Sertifikasi ISPO yang disusun pada Januari 2018 malah berpotensi menjadi langÂkah mundur yang makin meÂlemahkan ISPO.
"Pada awalnya, terjadi dialog yang cukup terbuka antara peÂmerintah dan para pemangku keÂpentingan, termasuk masyarakat sipil, melalui rangkaian perÂtemuan dan konsultasi publik telah menghasilkan beberapa rekomendasi untuk rancangan Perpres serta prinsip dan kriÂteria sistem sertifikasi ISPO," katanya, kemarin.
Sedianya sebuah konsultasi publik nasional akan diselenggarakan sebelum finalisasi draft rancangan Perpres tersebut. Alih-alih menyelenggarakan konsultasi publik nasional, pemerintah yang dimotori Kementerian Koordinator bidang Perekonomian malah menyeÂlenggarakan pertemuan-perÂtemuan terbatas, sehingga proses yang ada justru makin tertutup dan masyarakat.
"Termasuk pemangku kepentingan yang semula dilibatkan dan sulit mendapatkan akses informasi mengenai kemajuan proses," ungkap Sri.
Menurutnya, draft rancanÂgan Perpres yang disusun pada Januari 2018 seolah mengabaikan hasil dan masukan dari konsultasi publik regional. Beberapa poin penting masukan masyarakat dari hasil Konsultasi Publik terhadap rancangan Perpres ISPO dikeluarkan dari draft rancangan versi Januari 2018, seperti prinsip ketelusuran dan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Tidak dirujuknya prinsip HAM yang fundamental dalam sistem sertifikasi ISPO jelas merupakan langkah mundur," tegas Sri.
Sementara, digabungkannya prinsip 'perlindungan hutan alam/primer dan gambut' dengan 'manajemen lingkungan' menjadi 'pengelolaan lingkungan hidup, sumber daya alam dan keanekaÂragaman hayati' tanpa merujuk kembali pada pentingnya prinsip 'perlindungan' merupakan salah satu contoh isi rancangan yang melemahkan ISPO.
"Hal ini menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah dalam upaya perlindungan hutan dan gambut yang tersisa dan memÂperbaiki daya saing industri sawit Indonesia," ujar Sri.
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, menyebutkan draft ranÂcangan Perpres versi Januari 2018 juga menghilangkan keÂwajiban sertifikasi bagi pekebun plasma dan pekebun swadaya.
Hal ini akan berimplikasi pada lepasnya tanggung jawab peÂmerintah dalam mendorong dan mendukung peningkatan kapasiÂtas dan proses sertifikasi khususÂnya bagi petani swadaya.
"Draft rancangan ini juga menghilangkan pengaturan mengenai pemantauan independen terhadap sistem sertifikasi ISPO serta direduksinya posisi dan peran pemantau independen menjadi bagian dari komite sertifikasi. Ini jelas akan meÂlemahkan kredibilitas sistem itu sendiri," terangnya.
Koordinator Forum Koordinasi Masyarakat Sipil untuk penguaÂtan ISPO, Abu Meridian, mengaÂtakan kelompok masyarakat sipil menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan proses yang tidak transparan dan partisipatif dalam pembahasan rancangan Perpres sistem sertiÂfikasi ISPO.
"Apabila tidak ada perbaikan dalam proses dan substansi draft rancangan sampai dengan disahkannya Perpres ini, maka kami menyatakan bahwa proses ini telah gagal mencapai tujuan utama penguatan ISPO untuk memperbaiki tata kelola dan memperkuat daya saing sektor kelapa sawit Indonesia," tandasÂnya. ***
BERITA TERKAIT: