"Itu karena perusahaan asurÂansi kerap kesulitan untuk mendapatkan SBN dengan nilai dan imbal hasil
(yield) yang bagus, sehingga membuat aliran inÂvestasi ke instrumen ini masih cukup seret," tutur Ketua Umum AAJI Hendrishman Rahim keÂpada
Rakyat Merdeka.
Tak hanya itu, dana investasi yang dimiliki masing-masing peÂrusahaan juga terus bertambah. Sehingga tak mudah mengejar target 30 persen dari total inÂvestasi perusahaan.
Berdasarkan perkiraan AAJI, kata Hendrishman, penempatan investasi asuransi jiwa ke SBN sampai akhir 2017 baru sekitar 22 persen, atau tak sampai target 30 persen sesuai ketentuan otoÂritas keuangan.
Dengan prediksi itu, tak tercaÂpainya porsi kewajiban investasi itu, AAJI dan anggota telah mengirimkan surat kepada OJK untuk melihat lagi kebijakan ini sekaligus memberikan relaksasi bagi asuransi jiwa.
"Kami cuma mohon saja, ya mungkin ada relaksasi. Kami juga harus lihat lagi, apa sih filosofinya, kenapa harus di SBN? Tapi pada dasarnya industri akan gunakan dana ini untuk pembangunan Indonesia. Tapi kan tidak hanya dengan SBN saja," kritiknya.
Hendrishman melanjutkan, pihaknya memang mengharapÂkan pemerintah langsung memÂberikan SBN ke perusahaan. Sebetulnya, OJK sendiri telah memberikan kemudahan dengan mengizinkan perusahaan asuransi jiwa berinvestasi di surat utang yang diterbitkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menggantikan porsi SBN.
"Tapi nyatanya juga tidak mudah didapat oleh perusahaan non BUMN. Makanya saya pikir masuk akal minta relaksasi lagi," ujar Hendrisman.
Sementara menurut data AAJI, jumlah aset industri asuransi jiwa sekitar Rp 496 triliun pada tahun lalu. Lalu, aset industri asuransi secara keseluruhan menembus kisaran Rp 1.200 triliun.
Sementara, Direktur EkseÂkutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Achmad Dalimunthe menyebut, ada beÂberapa alasan masih rendahnya pemenuhan dana investasi SBN. Di antaranya adalah pelaku bisnis masih harus memikirkan kesesuaian investasi dengan liabilitas perusahaan.
Pasalnya, sebagian besar liaÂbilitas asuransi kerugian memiÂliki karakteristik jangka pendek. Sehingga harus diimbangi oleh investasi berdurasi pendek pula.
"Selain itu, potensi imbal dari instrumen itu juga jadi perhatian. Apalagi selama ini imbal dari obligasi pemerintah terbilang kecil. Tentunya di SBN ini aman, tapi tentu industri juga cari imbal yang tinggi," akunya kepada
Rakyat Merdeka. Meski begitu, ia yakin pelaku usaha masih akan berusaha habis-habisan untuk memenuhi aturan ini. "Namanya juga aturan, pasti akan diikuti," tukasnya.
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementrian Keuangan menunjukkan, kepemilikan institusi asuransi per akhir Desember 2017 turun sebesar 36,70 persen menjadi Rp 150,80 triliun dibandingkan akhir 2016 sebesar Rp 238,24 triliun.
Kepemilikan asuransi berÂbanding terbalik dengan porsi kepemilikan dana pensiun dan reksadana yang naik di SBN pada tahun lalu. Secara umum, porsi investasi asuransi masih akan besar pada surat utang dariÂpada instrumen investasi lainnya, seperti saham atau deposito.
Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Investasi SBN bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank dikatakan, bahwa asuransi jiwa wajib melakukan investasi di SBN pemerintah sebanyak 30 persen dari total investasi perusahaan. ***
BERITA TERKAIT: