Forum tersebut menyetuji PGN mengalihkan saham seri B milik negara sebesar 56,6 persen kepada PT Pertamina dengan masa berlaku 60 hari.
Pengalihan saham akan resmi berlaku jika Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sudah masuk ke Setneg dan diajukan oleh Menteri Keuangan dan Menteri BUMN disetujui oleh Presiden Jokowi.
Menanggapi hal ini, Koordinator Indonesia Energy Watch (IEW) M. Adnan Rara Sina berpendapat, akan bermanfaat jika pembentukan holding BUMN Migas antara PGN dan Pertamina untuk memperkuat struktur aset dan modal agar dua perusahaan yang digabungkan ini menjadi lebih efisien, kompetitif dan tidak bersaing secara bisnis dengan jenis usaha yang sama.
Namun kenyataan di lapangan, pembentukan holding migas ini tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan induk holding, menambah birokrasi, memperpanjang rantai pengambil keputusan serta menimbulkan inefisiensi karena inefisiensi keuangan dan manajemen Pertamina saat ini tidak 'prudent'.
"Terbukti dalam tahun buku 2017 kerugian Pertamina mencapai Rp 17 Triliun. Berbanding terbalik dengan dengan PGN mendapat laba 150 juta dolar AS di tahun yang sama sehingga kesan yang muncul adalah PGN 'dicaplok' oleh Pertamina untuk menutupi keuangan Pertamina yang kolaps," tegas Adnan kepada redaksi, Sabtu (27/1).
Persoalan berikutnya adalah mekanisme
top down,/i> yang ditempuh Rini Soemarno dengan skema 'inbreng' dengan memaksakan PGN 'dicaplok' Pertamina. Hal ini menurut Adnan, menimbulkan ketidakpercayaan investor bahwa BUMN sangat mudah diintervensi sehingga sampai saat ini terjadi gejolak pasar dimana nilai kapitalisasi saham PGN (PGAS) di pasar saham terus mengalami penurunan.
Seharusnya, menurut dia, Rini tidak usah buru-buru memaksakan holding ini dengan menempuh cara yang lebih soft dengan metode botton up,/i>. Caranya, mengintegrasikan lebih dahulu dengan skema PGN mengakuisisi Pertagas, anak perusahaan Pertamina yang memiliki usaha sejenis dengan PGN, yang bergerak di bidang usaha distribusi gas. Bukan sebaliknya, memaksakan kehendak dengan digabung dari atas.
Selain itu, Pertamina sendiri perlu memperbaiki good corporate governance (GCG) sebelum ditetapkan menjadi holding disebabkan Pertamina sampai saat ini tak mampu mengatasi "kelompok kepentingan" yang melingkupinya.
"Presiden Jokowi harus lebih berhati-hati dengan agenda agenda sendiri oleh pembantu-pembantunya di kabinet yang tidak mencerminkan program Nawa Cita di bidang energi, Presiden Sebaiknya tak perlu terbitkan PP Holding BUMN Migas," ungkap Adnan.
Rini kata Adnan, sering membuat keputusan kontroversial dan malah membuat BUMN sekarat. Perintah agar Garuda Indonesia membeli pesawat besar yang tidak sesuai dengan kebutuhan salah satu contoh. Akibat perintah Rini ini Garuda mengalami kerugian besar dan terus merugi karena beban hutang. Belum lagi, tidak ada persetujuan DPR karena Rini tidak diterima dalam rapat kerja bersama komisi VI sejak keputusan Pansus Pelindo yang merekomendasikan pemecatannya.
Keputusan holding BUMN Migas menurut Adnan, akan menimbulkan turbolensi dan kegaduhan politik yang tidak produktif sehingga sebaiknya Presiden Jokowi tidak buru-buru menyetujui dan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang diajukan Rini.
"Karena kebijakan holding ini lebih pada uji coba. Lebih baik Rini fokus menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi untuk mengatasi mahalnya harga gas dalam negeri menjadi 6 dolar AS dari saat ini seharga 11 dolar AS per MMB, dengan memperbaiki dan memperkuat sistem distribusi infrastruktur gas dari hulu hingga hilir. Mindset bahwa holding BUMN Migas adalah solusi mengatasi mahalnya harga gas adalah keliru dan sesat pikir," demikian Adnan.[dem]
BERITA TERKAIT: