Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dibuat pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penjualan baÂrang atau jasa kena pajak. FakÂtur Pajak berfungsi sebagai dasar PKP dalam melaksanaÂkan mekanisme pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menjelaskan, faktur fiktif diduga dibikin dengan tujuan agar PPN yang disetor menjadi lebih kecil. MenurutÂnya, pihaknya ingin menertibkan masalah ini. Karena, penggunaan faktur fiktif dapat membobol uang negara lewat pengembalian (restitusi) pajak.
"Penerbit dan pengguna faktur fiktif tidak sah memanfaatkan sistem PPN merugikan negara. Hal itu sama dengan mendapatkan keuntungan dengan cara mencuri dari keuangan negara," kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, kemarin.
Hestu menyebutkan, ada empat syarat untuk wajib pajak yang harus dipenuhi agar untuk status suspend bisa dicabut. Antara lain, menunjukan keÂabsahan identitas, keberadaan serta kesesuaian atau kewajaran profil, dan kesesuaian kegiatan usaha. Namun, ternyata apabila terdapat indikasi wajib pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan maka akan dilakukan pemeriksaan.
"Jika terindikasi melakukan tindak pidana seperti menerÂbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau belum dikuÂkuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka terhadap wajib pajak yang bersangkutan tetap dilanjutkan dengan PeÂmeriksaan Bukti Permulaan," tuturnya.
Pada periode 2016-2017, Ditjen Pajak mencatat telah menangani 525 kasus faktur fiktif dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 1,01 triliun. Sebanyak 216 kasus berlanjut ke tahap pemeriksaan bukti permulaan.
Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Yustinus Prastowo menilai, masih maraknya kasus faktur pajak fiktif karena pengawasan yang lemah.
"Ditjen Pajak harus menyemÂpurnakan sistem pada e-faktur dengan sistem yang lebih komÂprehensif," katanya. ***
BERITA TERKAIT: