Wakil Ketua Umum HimpuÂnan Industri Mebel dan KeraÂjinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur menjelaskan dana subÂsidi tersebut dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan bahan baku dan teknologi. "Dana subÂsidi akan meningkatkan daya saing produk untuk pasar dalam negeri dan mancanegara," kaÂtanya kepada Rakyat Merdeka di acara pameran
International Furniture Manufacturing ComÂponent Exhibition (IFMAC) dan
Woodworking Machinery ExhiÂbition (WOODMAC) di Jiexpo, Jakarta, Jumat (29/9).
Dia mengklaim, sudah berkÂoordinasi dengan pemerintah khususnya Kementerian PerinÂdustrian (Kemenperin) untuk merealisasikan dana subsidi tersebut. Paling lambat pertenÂgahan tahun depan dana tersebut sudah cair.
"Tahun depan saya kira KeÂmenterian Perindustrian sudah pasti akan alokasikan dana APBN untuk mendukung inÂdustri mebel dan kerajinan," tegasnya.
Tanpa dukungan tersebut, dia pesimistis, industri mebel dalam negeri bisa bersaing dengan negara lain. Meski deÂmikian, Sobur belum berani menyebutkan jumlah nominal dana subsidi yang dibutuhkan. "Untuk besaran belum diberiÂtahu nominalnya, begini karena dana itu harus terserap, kalau kita mengalokasikan nominal lalu uang itu tidak terserap juga tidak bagus," terangnya.
Namun, dia berharap, subsidi sebesar 25 persen dari kebutuhan belanja industri. "Kalau misalnya dana yang diberikan itu Rp 100 miliar maka industri harus belanja di atas Rp 400 miliar itu kan cuÂkup siginifikan," katanya.
Angka Rp 100 miliar dinilai sangat kecil jika dibandingkan dengan industri tekstil yang menerima suntikan subsidi hingga Rp 1,5 triliun. "Hanya bagian kecil dari subsidi tekÂstil," ujarnya.
Sobur mengungkapkan, saat ini industri tekstil mengalami perlambatan pertumbuhan lanÂtaran kekurangan dana. Omset bisnis furnitur dan mebel yang saat ini berada di kisaran 1,6 milÂiar dolar AS sangat lambat jika dibandingkan dengan China.
"Dari Himki mengajukan mungkin untuk tahap awal 5 tahun dulu. 5 tahun sudah bagus sudah bisa akselerasi dengan teknologi," terangnya.
Dana tersebut, menurutnya, tidak akan diberikan kepada seluruh pelaku usaha, melainkan hanya dikhususkan bagi yang berbasis ekspor. Hal itu sengaja dilakukan karena jika diberikan kepada seluruh pelaku usaha dananya akan kebesaran. "Ada 3.000 perusahaan berbasis ekÂspor harapannya semuanya dapat subsidi tapi tentu sangat besar makanya nanti kita saring dulu," ungkapnya.
Perusahaan furnitur dan mebel asal China sudah lebih dulu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah di negaranya. "Saya pikir pemerintah sudah paham, tanpa dukungan susah kita bersaing," kata dia.
Saat ini, walau Indonesia memiliki sumber bahan baku namun distribusinya masih tertÂinggal dan mahal. Selain itu hasil produksi juga nampak kurang modern karena tidak memiliki mesin yang canggih. Dengan dukungan penuh dari pemerÂintah terhadap pengembangan industri, maka masa kejayaan mebel dan furnitur Indonesia bisa bangkit lagi.
Bahkan dalam empat tahun kedepan dapat tumbuh sampai 5 miliar dolar AS. "Diharapkan adanya dukungan dapat menumÂbuhkan kembali ekspor mebel nasional," ucap Sobur.
Bahan Baku Langka
Ketua Umum Himki Soenoto mengatakan, dalam dua tahun terakhir industri mebel dan kerajinan Indonesia mengalami penurunan kinerja. Hal terseÂbut disebabkan kelangkaan bahan baku rotan. Kelangkaan ini ternyata bukan tanpa sebab. "Salah satu penyebabnya adalah masih terus berlangsungnya penyelundupan bahan baku roÂtan ke beberapa negara, seperti China, Vietnam, dan lainnya," tuturnya.
Untuk itu, Himki tetap mendukung diberlakukannya Permendag No, 35/M-DAG/ PER/11/2011 yang diterbitkan pada bulan November 2011 tentang ketentuan ekspor rotan, dimana didalamnya mengatur adanya larangan ekspor rotan dalam bentuk rotan mentah dan rotan setengah jadi. Hal ini mengingat industri mebel dan kerajinan rotan di dalam negeri sangat membutuhkan bahan baku untuk semua jenis rotan. ***
BERITA TERKAIT: