Bank Indonesia sendiri kemÂbali memangkas suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate (
repo rate) menjadi 4,25 persen, tetapi bank mengaku masih butuh waktu untuk membenahi rasio kredit macet (
non performÂing loan/NPL). Hal tersebut dipahami Gubernur BI Agus Martowardojo.
"Bunga kredit memang belum bisa turun lebih jauh, karena perbankan sendiri masih dalam konsolidasi. Mereka harus menÂgelola kredit bermasalah yang masih dalam tekanan," kata Agus di Jakarta, akhir pekan kemarin.
Di samping itu, bank juga masih harus mengantisipasi karena OtoÂritas Jasa Keuangan (OJK) tidak melanjutkan kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit.
"Kami sudah dengar NPL meningkat. Itu adalah cerminan stimulus yang tidak diperpanÂjang oleh OJK. Tapi secara umum, kami sambut baik non performing loan (NPL) netto di kisaran 1,4 persen," kata Agus.
Agus bilang, biasanya bank membutuhkan waktu satu hingga dua kuartal setelah dilakukannya penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral. Namun pada segmen tertentu, khususnya kredit korporasi dan konsumer, sudah mengalami penurunan menjadi single digit.
"Kami harap bunga (segmen lainnya) sudah bisa terus turun, karena secara nasional masih di kisaran 11 persen. Bunga kredit itu masih sama-sama perlu diliÂhat, kami yakin OJK juga terus meninjau," tutur eks menteri keuangan ini.
Lambannya penurunan suku bunga kredit perbankan menurut Ekonom dari
Institute DevelÂopment of Economics and FiÂnance (Indef) Bhima Yudhistira memang banyak faktor. Selain karena belum tumbuhnya peÂnyaluran kredit, masalah kredit bermasalah (NPL) memang menjadi salah satu alasannya.
"Sebenarnya, restrukturisasi kredit perbankan sudah dilakuÂkan sejak awal tahun, apalagi sejak OJK melakukan relaksasi restrukturisasi kredit tersebut, harusnya perbankan sudah siap. Sehingga (NPL) jangan jadi alasan bank belum mau menuÂrunkan suku bunga kreditnya," sindir Bhima kala dihubungi
Rakyat Merdeka. Berdasarkan data OJK, rasio NPL diketahui memang naik 0,5 persen di Agustus 2017 menjadi 3,05 persen dari bulan sebelumnya sebesar 3 persen. Namun kata Bhima, hal itu dinilai masih wajar.
Menurut Bhima, saat ini pengÂhapusan relaksasi restrukturiÂsasi tidak berdampak signifikan terhadap kenaikan risiko kredit sampai akhir tahun. Apalagi mayoritas bank sudah memupuk pencadangan untuk memitigasi potensi kenaikan kredit macÂet. "Jadi sudah diantisipasi soal kredit macet ini," imbuhnya.
Bhima memproyeksi, untuk mencapai single digit suku bunga perbankan pun tak bisa dilakukan di tahun ini. "Apalagi tahun depan, belum tentu juga. Tahun depan itu tahun politik, akan banyak kondisi dalam dan luar negeri yang akan mempenÂgaruhi," tuturnya.
Tak hanya itu, Bhima menÂcatat kredit yang belum ditarik (
undisbursed loan) di semester I-2017 pun masih cukup besar atau mencapai Rp 1.300 triliun. Hal itu menunjukkan, perbankan masih hati-hati dalam menyalurÂkan kreditnya. Dan pelaku usaha masih melihat-lihat kondisi ekonomi yang ada saat ini.
Hal lain yang kerap menjadi alasan perbankan masih enggan menurunkan suku bunga kredÂitnya juga lantaran net interest margin (pendapatan bunga) yang masih tinggi di kisaran 5 persen.
NIM perbankan Indonesia, imbuh Bhima, masih yang terbeÂsar di kawasan Asia Tenggara. Hal itu menjadi salah satu alaÂsan mengapa banyak investor tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.
"Itu pun menjadi kendala mengapa konsolidasi perbankan menjadi dirasa masih sulit diÂlakukan di Indonesia. Jumlah bank pun yang tercatat masih banyak yaitu 115 bank. Itu artinya, konsolidasi perbankan belum membuahkan hasil yang maksimal," cetusnya.
Sebelumnya, Direktur Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dody AriÂefianto memproyeksikan, NPL masih akan tinggi atau berada di level 2,8-3 persen hingga akhir 2017. Dalam laporan perekoÂnomian dan perbankan Agustus 2017 LPS, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kenaikan NPL di semester kedua. Salah satunya adalah keputusan OJK yang mencabut aturan relaksasi restrukturisasi kredit perbankan pada pertengahan tahun ini.
"Pencabutan aturan relaksasi restrukturisasi ini tidak memÂberikan dampak yang signifikan terhadap NPL. Karena mayoritas bank besar atau Bank Umum Kategori Usaha (BUKU) IV dengan modal inti di atas Rp 30 triliun tetap menggunakan tiga pilar dalam melakukan restrukÂturisasi," ucapnya.
Tiga pilar yang dimaksud Dody adalah terkait penilaian kemampuan calon debitor dalam membayar, kondisi finansial, dan prospek bisnis suatu sektor. SemÂula, saat OJK merelaksasi aturan restrukturisasi, dua penilaian terakhir tidak dimasukkan. NaÂmun, setelah aturan tersebut diÂcabut, maka penerapan kembali dua pilar terakhir diduga menjadi penyebab NPL bank sedikit menÂgalami kenaikan.
Namun Dody melihat, seÂjumlah bank skala kecil, yang justru menilai kebijakan relakÂsasi restrukturisasi kredit masih dibutuhkan dan belum perlu diÂcabut. Pasalnya, kelompok bank BUKU II dan BUKU I masih mencatat kredit bermasalah yang cukup tinggi dan permintaan kredit belum membaik.
"Perbankan sebenarnya sudah mengantisipasi terkait pencabuÂtan aturan relaksasi ini. Bank juga diproyeksi akan melakuÂkan
write off untuk mengurangi kenaikan NPL sampai akhir tahun," tuturnya.
Menanggapi ini, Direktur UtaÂma PT Bank Mayapada InternaÂsional Tbk Haryono Tjahjarijadi mengatakan, sebelum pencabutan relaksasi restrukturisasi dilakuÂkan, regulator pasti memiliki perÂtimbangan tersendiri. Sehingga seharusnya hal ini sudah diantisiÂpasi dengan baik oleh bank.
"Kami meyakini pencabutan aturan tersebut tidak akan berÂdampak pada kredit bermasalah perseroan. Secara hitung-hitungan untuk Bank Mayapada tidak ada dampaknya," terangnya. ***
BERITA TERKAIT: