DPR Jadwalkan Panggil Bos BI

Kebijakan Biaya Isi Ulang E-Money Dinilai Sengsarakan Rakyat

Jumat, 22 September 2017, 08:48 WIB
DPR Jadwalkan Panggil Bos BI
E-money/Net
rmol news logo Meski menuai pro kontra, Bank Indonesia (BI) tetap memutuskan biaya isi ulang (top up) e-money maksimal Rp 1.500. Kebijakan BI ini disebut tidak pro rakyat.

 Anggota Komisi XI DPR Bidang Keuangan Wilgo Zainar berpendapat, kebijakan Guber­nur BI Agus DW Martowardojo akan menyengsarakan rakyat. Sebab, sebesar apa pun biaya top up saldo e-money tetaplah membebankan.

"Coba dihitung, orang isi sal­do bisa 3-5 kali sebulan. Biaya Rp 1.500 dikali hitung paling banyak 5 kali, total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 7.500 per bulan. Perbankan mendapatkan manfaat bunga capai Rp 64 juta dikali minimal ada 50 ribu kartu, bisa sampai Rp 3,2 triliun itu besar sekali. Mereka masih mau ambil untung juga dari biaya top up," imbuh Wilgo kepada Rakyat Merdeka.

Politisi Partai Gerindra ini me­negaskan, kebijakan BI tersebut telah menjadi paradoks, di mana Bank Sentral tengah gencar me­nyerukan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), namun di sisi lain wasit sistem pembayaran itu malah membebankan masyarakat.

Apapun alasan yang dipakai BI maupun perbankan, imbuh­nya, pihaknya tetap keberatan. "Jika alasan pengenaan biaya top up karena tidak murahnya in­vestasi teknologi, itu kan sudah menjadi kewajiban perbankan. Sebab, jika teknologi mereka tidak diupgrade, bisnis mereka akan tergerus seiring perkem­bangan zaman," tandas.

Untuk itu Komisi XI beren­cana memanggil Bekas Menteri Keuangan tersebut, bersama Him­punan Bank-bank Negara (Himba­ra), pengelola jalan Tol Jasa Marga dan pihak lain yang terkait.

"Intinya, hampir sebagian besar kami di Komisi XI tidak sepakat dan menolak dengan keputusan BI itu. Senin depan kami baru rencana ada pembicaraan untuk penjadwalan pemanggilan mere­ka. Karena minggu ini Komisi XI ada kunjungan Kerja di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Jawa Timur," katanya.

Rencananya dalam rapat ber­sama BI tersebut, selain mem­pertanyakan kebijakan yang tidak pro rakyat, Komisi XI juga akan membahas Undang-Undang Mata Uang. Di mana dalam beleid itu disebutkan bahwa alat pembayaran rupiah yang sah adalah rupiah, se­dangkan pembayaran dengan kartu e-money belumlah diatur.

"Kalau e-money menjadi satu-satunya alat pembayaran yang digunakan di tol tanpa ada tran­saksi tunai, harus ada amande­men penambahan klausul dalam undang-undang. Dan ini tidak serta merta saja langsung diber­lakukan. BI tak boleh seenaknya menerapkan aturan tanpa melihat aturan lainnya," tegasnya.

Setali tiga uang, pengacara Perlindungan Konsumen Da­vid Maruhum Tobing yang melaporkan BI ke Ombudsman juga sangat menyesalkan tin­dakan Agus Marto yang tidak mendengarkan keberatan dari masyarakat. Ia lalu menuding ada sesuatu target yang harus dikejar, apalagi masalah ini se­dang diselidiki ombudsman ten­tang dugaan maladministrasi.

"Pantang mundur, saya akan tetap menggugat selama aturan tersebut merugikan konsumen. Bagaimana perinciannya, saya harus lihat lagi aturannya, karena untuk menggugat harus jelas obyek gugatannya," tutur David saat dihubungi Rakyat Merdeka.

Menurut David, dalam UU Mata Uang disebutkan, tidak boleh menerima uang selain rupiah, dan uang elektronik tidaklah diatur dalam UU hanya dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) saja.

"BI ngotot lakukan ini, ubah dulu undang-undangnya. Aturan dalam PBI itu tidak lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang," tandas David.

David mengatakan, harusnya dalam kebijakan elektronifikasi jalan tol tetap diberikan gardu khusus yang menerima uang tunai. Ini karena uang tunai merupakan pembayaran yang sah menurut UU.

Sebelumnya, lewat pernyataan Ketua Himbara Maryono, bank-bank pelat merah setuju untuk menggratiskan biaya top up e-money. Namun semuanya tetap dikembalikan kepada Bank Sen­tral, karena Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN akan mematuhi apapun kebijakan BI.

Dalam pernyataan resmi Bank Indonesia kemarin, Kepala Depar­temen Komunikasi BI Agusman Zainal menyatakan, pihaknya telah mengatur besaran biaya top up e-money dalam aturan yang baru diterbitkan, Peraturan Ang­gota Dewan Gubernur No.19/10/ PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pemba­yaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN). PADG GPN merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.19/8/PBI/2017 tentang GPN.

Untuk pengisian top up On Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu), untuk nilai sam­pai dengan Rp 200 ribu, tidak dikenakan biaya alias gratis. Sementara untuk nilai di atas Rp 200 ribu dapat dikenakan biaya maksimal Rp 750.

Sementara top up Off Us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/ mitra), dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp 1.500.

"Kebijakan skema harga ini mulai berlaku efektif 1 (satu) bulan setelah PADG GPN diter­bitkan, kecuali untuk biaya Top Up On Us yang akan diberlaku­kan setelah penyempurnaan ke­tentuan uang elektronik. Seluruh pihak dalam penyelenggaraan GPN wajib memenuhi aspek transparansi di dalam pengenaan biaya," terang Agusman.

Agusman melanjutkan, penetapan batas maksimum biaya Top Up Off Us uang elektronik sebesar Rp 1.500 dimaksudkan untuk menata struktur harga yang saat ini bervariasi. Un­tuk itu, penerbit yang saat ini telah menetapkan tarif di atas batas maksimum tersebut wajib melakukan penyesuaian.

Bank sentral beralasan, penetapan kebijakan skema harga berdasarkan mekanisme ceiling price (batas atas), dalam rangka memastikan perlindungan kon­sumen dan pemenuhan terhadap prinsip-prinsip kompetisi yang sehat, perluasan akseptasi, efisiensi, layanan, dan inovasi.

"Dengan rata-rata nilai top up dari 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia yang tidak lebih dari Rp 200 ribu, Bank Sentral melihat, kebijakan skema harga Top Up diharap­kan tidak akan memberatkan masyarakat," imbaunya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA