Pengusaha Tertekan Anomali Ekonomi

Sektor Riil Hingga Daya Beli Lesu

Senin, 14 Agustus 2017, 09:23 WIB
Pengusaha Tertekan Anomali Ekonomi
Foto/Net
rmol news logo Pengusaha menilai ekonomi Indonesia telah memasuki masa anomali. Sejumlah indikator makro ekonomi, seperti nilai tukar rupiah, inflasi, dan pasar modal sedang menunjukkan perbaikan. Di sisi lain, sektor riil, industri dan daya beli lesu. Hal ini membuat pengusaha merasa tertekan.

Ketua Umum Asosiasi Pengu­saha Indonesia (Apindo) Hari­yadi B Sukamdani mengatakan, anomali ekonomi terjadi karena pelemahan daya beli. "Kondisi itu semakin membuat pengusaha tertekan, sebab tingginya biaya produksi yang tak seimbang dengan daya beli masyarakat," ujar Hariyadi, kemarin.

Menurut Hariyadi, para pengusaha di berbagai sektor merasakan penurunan belanja, terutama dari kelas menengah. Dampak terbesar dialami sek­tor ritel dan properti. Padahal, data ekonomi versi pemerintah menunjukkan kenaikan pem­bayaran pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 13 persen.  "Seharusnya volume transaksi naik kalau PPNnaik. Faktanya tidak begitu," bebernya.

Hariyadi yakin, kelas me­nengah memilih untuk meny­impan uang di bank. Buktinya, simpanan masyarakat di bank terus melambung. Sedangkan penurunan daya beli kelas me­nengah ke bawah terjadi karena penyerapan tenaga kerja se­makin rendah.

"Saya juga bingung. Ba­gaimanapun, kami berasumsi bahwa data statistik benar. Namun, tetap saja kami merasa ada yang tidak sinkron antara data makro dan data mikro," tegasnya.

Wakil Ketua Umum Aso­siasi Pengusaha Ritel Indone­sia (Aprindo) Tutum Rahanta mengakui, saat ini memang be­nar ada terjadi shifting untuk produk-produk tertentu. "Me­mang terjadi pelemahan daya beli," ujarnya.

Mengenai besaran penurunan Tutum menjelaskan harus dilihat dari dua hal, produk makanan dan non makanan. Tutum juga mengakui meskipun sudah mulai mengarah ke penurunan, namun sektor makanan dan minuman masih berada disisi positif.

Tutum menambahkan, meskipun pertumbuhan sebesar 5,1 persen masih cukup baik untuk retail, namun hal tersebut juga merupakan alarm bagi pemerintah agar lebih serius. "Penurunan di kelompok bawah dapat diukur dari mini market, sedangkan kelompok atas agak sedikit melemah akibat menunda pembelian," tukasnya.

Ekonom Indef Berly Marta­wardaya menyebutkan, pertum­buhan ekonomi bisa dikatakan stabil. "Ada beberapa hal yang membuat pertumbuhan konsum­si tidak mengalami peningkatan, seperti THR untuk pegawai negeri yang terlambat, serta penurunan pencairan belanja pemerintah," ungkap Berly.

Menurutnya, kondisi pertum­buhan yang stabil ini membuat pola konsumsi masyarakat men­galami perubahan. "Masyarakat menunda belanja seperti sandang dan rumah, namun masih belanja untuk keperluan konsumtif sep­erti handphone dan pergi ke cafe," ungkapnya.

Dekan dan Guru Besar Fakul­tas Ekonomi dan Bisnis Univer­sitas Indonesia (UI) Ari Kuncoro juga memiliki pandangan yang sama, yaitu ekonomi sedang mengalami anomali. "Tidak lesu ataupun kuat, tapi ekonomi stagnan," ujarnya.

Menurutnya, masyarakat cenderung cepat berganti barang seperti mobil, motor, ponsel, laptop serta pakaian. Seluruh sektor usaha akhirnya mera­sakan manfaatnya, karena uang terus mengalir dan berputar, sehingga mampu mendorong ekonomi tumbuh sampai di atas 6 persen.

"HP baru, pergi liburan, foto dan posting ke media sosial. Begitulah kebanyakan prilaku kelas menengah baru," imbuh­nya.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA