Ketua Koperasi Pedagang Beras Pasar Induk, Zulkifli menerangkan, standar mutu beÂras merupakan salah satu kebuÂtuhan mendasar dalam bisnis beras, apalagi makanan pokok masyarakat Indonesia adalah nasi. "Ini sangat disayangkan masa standar mutu saja kita tidak ada," katanya kepada
Rakyat Merdeka.
Dia menjelaskan, dengan adanya standar mutu maka peÂnentuan beras premium atau medium nantinya akan lebih mudah. Produsen bisa mengiÂkuti standar tersebut dalam memproduksi beras, tindakan penyimpangan pun akan makin jelas terlihat. Tanpa adanya standar mutu khusus beras maka pengusaha ataupun penjual beras akan rawan dikriminalisasi.
"Kalo mau aman buat proÂdusen buat konsumen ya pakai standar mutu ini masalahnya kita nggak punya," katanya.
Dari berbagai pertemuan denÂgan Kementerian Perdagangan dia mengaku belum mendapat titik cerah kapan Indonesia akan memiliki standar mutu. Standar mutu khusus beras sendiri harus ditetapkan oleh pemerintah dengan melibatkan ahli dan pelaku usaha.
"Sampai detik ini belum ada, makanya kita nggak punya stanÂdar mutu untuk beras," katanya
Dalam urusan perberasan dia menyebut Indonesia sangat tertinggal dari negara lain. Di Asia Tenggara saja, di beberapa negara berkembang yang konÂdisi ekonominya masih di bawah Indonesia sudah ada standarnya. "Coba kalau tidak percaya silahkan ke Thailand atau ke Vietnam, disana lihat bagaiamana mereka menentukan beras premium mereka sudah ada standarnya," katanya.
Dia menjelaskan bahwa meÂnentukan mutu beras tidak bisa hanya dengan menyebut tingkat kualitas. Kebanyakan konsumen selama ini menentukan beÂras hanya dari sisi merek atau keterangan yang tertera pada kemasan beras. Padahal yang terpenting adalah standar mutu.
"Kualitas bagus ya bagus itu juga dimasak dulu, tapi mutuÂnya itu seperti apa berapa kadar airnya itu penting tapi kita tidak ada," keluhnya.
Dia menambahkan, dengan dibuatnya standar mutu beras maka bisa diketahui persentase dari kadar air yang terkandung dalam beras. Batasan maksimal beras baik memiliki kadar air maksimal 14 persen. Hasil ini didapat dengan melewati hasil uji. "Standar mutu kan begini, itu beras ada kadar airnya seberapa besar," katanya.
"Kalau Thailand itu jelas disebutkan kadar airnya ada beras Thailand 15 persen, ada Thailand 10 persen ada Thailand 14 persen Thailand 8 persen," jelasnya.
Wajar saja jika ada pengusaha yang melakukan praktek mengubah beras biasa dirubah menÂjadi beras bagus karena memang ongkos dan biaya yang dikeluarÂkan oleh produsen itu besar.
Jika beras yang sudah dimasak terlihat bagus dan enak maka bisa jadi pengusaha sudah merubah beras menjadi premium. Hal tersebut sebetulnya tidak menÂjadi masalah. "Karena aturan yang ada sekarang tidak tegas dan tidak jelas," tegasnya.
Zulkifli menduga pemerintah tidak mengetahui perihal detail urusan beras. Makanya dia meÂminta agar pemerintah bisa lebih berhati-hati jangan sembarangan membuat keputusan agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan karena berbeda pemahaman.
"Kita minta ketegasan peÂmerintah dengan aturan, kami merasa tidak nyaman karena belum ada aturan detail untuk masalah pencampuran ini," ungkapnya.
Sekarang ini saja untuk meÂnentukan beras baik atau tidak baru bisa diketahui setelah diÂmasak atau dimakan. Dia juga menyebut Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga bingung menentukan mutu beras.
"Beras paling enak kata dia (Mendag) dari Cirebon tapi menurut saya Bandung nah kalau penentuan gini kan tidak jelas," ucapnya.
"Makanya ngawur beras kita itu, orang nggak punya standar mau tahu ukuran dari mana," imbuh Zulkifli.
Dia berharap kepada pemerintah agar rencana pembuatan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras dibatalkan saja untuk selamanya. Pasalnya HET yang rencananya dibuat pemerintah akan menyamaratakan harga beragam beras.
"Kan tidak bisa beras disatuÂkan karena ada banyak macamÂnya," ucapnya.
Dia berharap dalam urusan beras ini harusnya Bulog yang paling bertanggungjawab. Dia meminta agar Kemendag dan Kementerian Pertanian jangan terlalu jauh mengintervensi utusan perberasan apalagi jika mereka tidak paham.
"Seharusnya bulog, karena yang paling bertanggungjawab dengan urusan perbesaran adaÂlah bulog," tukas Zulkifli.
Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia, Franciscus Welirang menambahÂkan bahwa standar mutu beras itu penting. Sekarang penentuan kebanyakan orang menggunakan caranya masing-masing.
"Ini sebenarnya adalah masalah, kita di Indonesia mau mengukur kadar air dan warna beras bagaimana? Selama ini kita hanya pakai perkiraan pedaÂgang. Pengepul akan lihat berasÂnya lalu tentuin itu harganya," cetus Franky.
Dia berharap agar kasus beÂras yang dialami oleh PT Indo Beras Unggul (IBU) tidak lagi terjadi. Kasus yang bikin geher ini membuat banyak pengusaha beras ketakutan, pasalnya InÂdonesia tidak ada aturan yang detail, untuk mutu saja tidak punya standar. Dia menegaskan kalau pengusaha beras dalam menjalankan produksinya benar-benar menjaga kepercayaan konÂsumen. Hampir tidak masuk akal jika produsen menipu konsumen dengan menjual beras kualitas buruk yang dibandrol mengÂgunakan harga kelas premium. "Harga beras dengan kemasan dan branding yang baik tidak bisa disamakan dengan harga beÂras eceran," ungkapnya. ***
BERITA TERKAIT: