Ekonom Indef Bhima YudhisÂtira Adhinegara mengatakan, ada beberapa peristiwa politik yang pada akhirnya memberikan dampak pada perekonomian. Antara lain, gaduh Undang- Undang Pemilu, isu toleransi, korupsi, dan isu reshuffle yang masih menggantung.
"Itu semua sumber ketidakÂpastian yang pada akhirnya membuat gejolak bagi perÂekonomian. Jika gaduh terus, ekonomi bisa masuki masa surut," katanya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Bhima mengungkapkan, dampak dari gaduh politik sangat terasa. Hasil survei konsumen Bank Indonesia (BI) periode Juli 2017 mencatat ada penghentian belanja sementara dari kelomÂpok masyarakat yang memiliki pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan. Ini terjadi karena mereka melakukan aksi wait and see melihat ekspektasi politik dalam 6 bulan ke depan kurang baik.
"Rata-rata kelompok yang pengeluarannya di atas Rp 5 juta per bulan sedang berpuasa dari konsumsi karena melihat ke depan memasuki tahun politik, situasinya juga kurang memÂbaik," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Bhima, adanya faktor instabilitas keÂbijakan. Pemerintah kerap kali melakukan kebijakan yang blunÂder. Misalnya, harga eceran tertinggi beras yang berujung pada digrebeknya PT Indo Beras Unggul (IBU). Jadilah, ini sentiÂmen negatif bagi dunia usaha. Jangan heran dunia usaha pun mengerem bisnisnya.
Bhima menjelaskan, konÂdisi stagnan mengindikasikan perekonomian sedang dalam kondisi tidak sehat. Harusnya menjadi alarm berbahaya bagi pemerintah jika situasinya tidak berubah. Rencana pemerintah untuk memperbaiki situasi denÂgan mengeluarkan paket kebiÂjakan baru sangat mubazir. SuÂdah 15 paket kebijakan ekonomi hingga kini diterbitkan, namun kenyataannya belum ampuh memecah permasalahan.
Sebelum mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang baru, kata dia, ada baiknya pemerintah mengevaluasi kembali efekÂtivitas paket-paket yang telah ada. Kalau ditemukan perizinan yang belum berubah seharusÂnya reformasi kebijakan lebih galak.
"Jangan sampai kepercayaan publik dan dunia usaha terhadap pemerintah makin memudar akibat terlalu banyak mengeÂluarkan paket kebijakan, tapi tidak berdampak besar untuk ekonomi," tegasnya.
Dirinya mengaku, khawatir ke depan jika situasi ini tidak berhasil diredam pemerintah, target ekonomi yang dicanangÂkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara PerubaÂhan (APBNP) 2017 sebesar 5,2 persen cukup sulit digapai. "2017 bisa tumbuh 5,1 persen saja sudah bagus. Tapi, sepertiÂnya sulit," ucapnya.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony PrasenÂtiantono punya pandangan seÂrupa. Tony menilai, ketidakpasÂtian ekonomi sangat terasa dan diperparah dengan kegaduhan politik. Aksi demonstrasi besar di Jakarta yang ternyata membekas kepada para pelaku ekonomi, baik produsen maupun konsumen.
Akibatnya, masyarakat wait and see untuk melakukan spending sehingga terlihat adanya penurunan daya beli. Hal ini pun merupakan dampak dari masalah yang terjadi di hulu yang melakukan efisiensi.
"Jadi, saat ini ekonomi Indonesia terlalu gaduh dengan poliÂtik. Politik sudah mengganggu kinerja ekonomi lewat jalur kepercayaan sehingga menimÂbulkan ketidakpastian. Ini yang harus dikelola dengan baik," ujarnya.
Tony juga mengkritisi wacana redenominasi dan pemindahan ibu kota. Menurutnya, wacana itu justru menambah kegaduhan yang sudah ada. Di sisi lain, Tony juga mencermati hawa pemilu 2019 yang akan terasa mulai 2018. Dirinya melihat kemungkinan besar akan ada extra spending yang artinya akan mendorong sisi demand.
"Tensi politik pasti meningkat. Sehingga bakal gaduh lagi. Intinya, pemerintah jangan meÂnambah-nambah perkara yang sudah ada dengan wacana redeÂnominasi maupun pemindahan ibu kota," tegasnya. ***
BERITA TERKAIT: