Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Petani Singkong, Karet, Dan Kakao Masih Merana

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/zulhidayat-siregar-1'>ZULHIDAYAT SIREGAR</a>
LAPORAN: ZULHIDAYAT SIREGAR
  • Rabu, 07 Juni 2017, 09:58 WIB
rmol news logo Kenaikan harga pangan atau inflasi pangan sepertinya hal biasa menjelang bulan Ramadhan, pada minggu terakhir bulan Mei. Periode tersebut juga ditandai dengan banyaknya singkong impor.

"Kehadiran singkong impor menyebabkan rendahnya harga penjualan singkong, sehingga kenaikan NTP tanaman pangan kurang meningkat secara tajam, serta tentu saja menyengsarakan petani singkong lokal kita," kata jelas Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam keterangan tertulis yang diterima sesaat lalu, (Rabu, 7/6).

Selama Mei 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 100,15 atau naik  0,14  persen dibandingkan NTP Bulan April. Hal ini disebab kenaikan indeks yang diterima petani (0,73%) lebih besar dari kenaikan indeks yang dibayar oleh Petani (0,59 %).

Kenaikan NTP tersebut di antaranya dipengaruhi oleh kenaikan NTP tanaman pangan dan NTP hortikultura. Pada sub-sektor tanaman pangan, kenaikan NTP dipengaruhi oleh kenaikan indeks tanaman padi, jagung dan singkong. Sementara untuk sub-sektor hortikultura, kenaikan NTP dipengaruhi oleh kenaikan harga cabe merah dan wortel.

Kenaikan NTP tersebut diikuti oleh kenaikan harga-harga pangan. Inflasi tercatat sebesar 0.39 % dan kontribusi bahan makanan sebesar 0.86%. BPS mencatat bahwa komoditas yang memberi andil inflasi dalam hal ini adalah bawang putih, telur, daging ayam, beras, daging sapi, jengkol dan cabe merah.

Senada dengan Henry Saragih, Ketua SPI Jawa Barat, Tantan, menjelaskan bahwa harga singkong mencapai Rp 150 – Rp 200 di lahan petani.

"Harga singkong tertinggi di Sukabumi Utara contohya, hanya sekitar Rp 500 per kg, sementara harga normalnya Rp 1.500 – Rp 2.000 per kg, padahal produksi singkong petani SPI sangat tinggi. Akhirnya ya merugi," papar Tantan.

Sementara itu, hal mengkhawatirkan lainnya adalah, kenaikan harga pangan justru lebih tinggi di perdesaan daripada di tingkat nasional. Tingkat kenaikan harga (Inflasi) di perdesaan mencapai 0,74 % dan 1,43% kenaikan tersebut disebabkan oleh kenaikan harga pangan.

Henry menegaskan, inflasi pedesaan ini menunjukkan, petani tidak hanya produsen pangan, namun sekaligus konsumen. "Karena itu daya beli petani atau masyarakat perdesaan menjadi merosot ketika terjadi inflasi. Terlebih inflasi pangan,” tutur Henry.

Sementara itu, kenaikan biaya kebutuhan rumah tangga pada sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura berturut-turut 0,82 dan 0,62. Pada sub-sektor perkebunan rakyat, petani merasakan betapa inflasi membuat kesejahteraannya menurun. NTP sub-sektor ini semakin menurun di bawah ambang batas kesejahteraan (di bawah 100) yakni hanya 97,49 %. Sementara kenaikan biaya kebutuhan rumah tangga meningkat sebesar 0.62%.

Henry menambahkan, komoditas perkebunan yang menjadi andil penurunan NTP ini adalah karet dan kakao. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya harga di tingkat internasional.  Karena itu pula per bulan Juni, pemerintah menurunkan bea keluar kakao sebesar 0% sebagai upaya untuk mendongkrak ekspor biji kakao.

"Pada titik inilah seharusnya negara hadir untuk memberi perlindungan petani melalui industri hilir rakyat yang menguntungkan petani perkebunan rakyat. Demikian pula peran koperasi petani dan BUMDES, serta kelembagaan pangan-sebagai mandat UU Desa dan UU Pangan – dapat menjadi alternatif untuk mengurangi permasalahan ini," demikian Henry. [zul]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA