Begitu dikatakan pengamat ekonomi energi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Kamis malam (19/1).
"Faktanya, penggunaan solar sangat mahal dan tidak efisien. Solar lebih mahal dari gas dan batu bara. Lihat saja, perbandingan harga solar, gas, dan batu bara. Hanya saja, tentu kita juga tidak ingin penggunaan batu bara, karena tidak ramah lingkungan,†kata dia.
Salamuddin meminta PLN segera mengakhiri permainan internal yang kotor. Karena berbagai permainan itulah yang diduga menjadi penyebab perusahaan BUMN tersebut masih mempertahankan solar.
"Harus diakhiri permainan-permainan di dalamnya yang masih mempertahankan solar. Karena ini melibatkan kontrak- kontrak pembelian bahan bakar,†jelasnya.
Berbagai permainan tersebut, menurut Salamudin, membuat PLN tidak memiliki rencana yang begitu baik untuk mengubah pemakaian solar ke bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan. "Ini kan masalah direksi, pejabat di dalam PLN itu sendiri yang memang harus berubah paradigmanya,†sambungnya.
Salamuddin juga mendesak semua pihak mengakhiri segala bentuk kongkalikong guna mempertahankan bahan bakar yang mahal dan juga tidak ramah lingkungan itu. Termasuk pemerintah, Kementerian ESDM, dan SKK Migas, untuk memprioritaskan pembangunan pembangunan energi dalam negeri, yaitu dengan memprioritaskan pasokan gas kepada PLN.
Menurutnya, jika PLN bisa melakukan konversi dari solar ke gas, maka dapat menghemat Rp100 triliun. Disisi lain, penggunaan gas sebagai bahan bakar pengganti harus menjadi fokus semua pihak. Apalagi, lanjutnya, karena gas sudah setara dengan 1,5 juta barel minyak per hari.
Gas, kata Salamuddin lagi, jauh lebih murah, dan sekarang sudah mencapai USD3-4 per mmbtu. Melalui konversi solar ke gas, dia yakin akan menjadi solusi terhadap berbagai persoalan energi dalam negeri saat ini.
"Panas bumi sebagai energi masa depan yang bisa sangat mungkin dikembangkan," tandasnya.
[sam]
BERITA TERKAIT: