Karena itu, revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52 Tahun 2000 mengenai Penyelenggaraan Telekomunikasi mendesak dilakukan untuk memberikan manfaat besar bagi publik.
Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, menjelaskan kini bisnis telekomunikasi berkonfigurasi di layanan data. Sementara regulasi yang ada justru mengatur soal telepon konvensional dengan layanan suara.
Hal ini menjadi masalah ketika Indonesia masuk ke jaringan 5G, tantangan yang akan muncul adalah bagaimana menata jaringan backbone, backhaul, dan access dengan cepat sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan dengan maksimal.
"Tuntutan ke depan itu broadband seemless, maksudnya dari ujung ke ujung bandwith rata kualitas rata. Kondisi ini mau tidak mau harus didukung regulasi yang memadai," kata Nonot Harsono kepada wartawan di Jakarta, Selasa (27/12).
Menurut dia, hal itu hanya bisa ditempuh dengan menata ulang.Salah satunya mengkonsolidasikan jaringan, mencakup network sharing. Pemerintah harus memberikan dukungan ketersediaan infrastruktur yang memadai agar ekonomi digital terus tumbuh.
Lebih lanjut, mantan Anggota BRTI itu juga menampik isu kerugian yang bakal diderita BUMN telekomunikasi yakni PT Telkom akibat skema network sharing. Dia menggunakan logika sederhana jalan tol yang hanya boleh dipakai satu mobil. Akan lebih bermanfaat jika banyak moda darat yang menggunakan fasilitas itu dan membayar sewa pada pemilik jalan tol.
"Induk perusahaan
kan business backbone, pasti untung. Malah merugi kalau hanya dipakai satu operator telekomunikasi selular," sambungnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: