Direktur
Indonesian ReÂsources Studies (IRESS) MarÂwan Batubara menilai, tuntutan Freeport meminta perpanjangan kontrak dengan alasan untuk pembangunan smelter (pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang) hanya untuk menekan pemerintah. Selama ini perusaÂhaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut kurang serius membangun smelter.
"Smelter itu kan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Minerba. Kalau menunÂtut perpajangan (dengan alasan smelter), itu tujuannya menekan," kata Marwan kepada
Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Marwan meminta, pemerintah tidak mengalah dengan tuntutan tersebut.Bahkan, harus berani bersikap tegas. Karena, pemÂbangunan smelter merupakan kewajiban yang harus dilakukan semua perusahaan tambang. Kemudian, soal perpanjangan, hal ini kewenangan penuh peÂmerintah.
"Kita tidak bisa diremehÂkan. Badan usaha Milik Negara (BUMN) Seperti Inalum dan Antam, sudah memiliki kemamÂpuan mengelola pertambangan sendiri," kata Marwan.
Namun demikian, Marwan tidak mempersoalkan bila peÂmerintah mau kembali menggandeng kembali Freeport mengelola tambang emas di Timika, Papua, pasca masa kontraknya habis. Menurutnya,
win-win solution memang harus dilakukan. Hanya saja, kontrak baru, pengendalian sepenuhnya dilakukan pemerintah.
"Saya kira tidak masalah FreeÂport diperpanjang untuk kebaiÂkan bersama. Asalkan, Freeport mau bangun smelter dan menyerahkan mayoritas sahamnya ke pemerintah. Kalau mereka tidak mau, ya sudah tidak usah diperpanjang kan keputusan di tangan kita," ungkapnya.
Marwan menegaskan, pengelolaan tambang emas di Papua ke depan harus memberikan manfaat yang besar untuk bangsa. Dan, untuk mewujudkan itu, saat inilah momentumnya.
Dia menyebutkan selama ini posisi Indonesia kurang diuntungkan. Hampir setengah abad PTFI kelola tambang di Timika, pemerintah hanya memiliki saham sebesar 9,3 persen. Sementara Freeport 81,28 persen.
Soal rencana perpanjangan relaksasi ekspor konsentrat, Marwan mengaku dirinya inginkan rencana itu tidak dilakukan. Tapi, jika akhirnya pun terpaksa dilakukan, syarat ekspor harus diperketat dan harus dipastikan tidak merugikan kepastian usaha untuk investor yang sudah memÂbangun smelter.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan yakin pemeritah bisa mengelola sendiri tambang emas di Timika bila tidak ingin lagi memperpanjang kontrak Freeport.
Menurutnya, pemerintah bisa melakukannya seperti pola-pola saat mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam. Pemerintah harus mengambil keputusan sebelum kontrak Freeport haÂbis pada 2021. Tujuannya agar kedua belah pihak memiliki masa transisi. Merujuk pengeloÂlaan Blok Mahakam, pemerintah memutuskan tidak memperpanÂjang kontrak PTInpex dan Total E& P dalam mengelola Blok Mahakam dua tahun sebelum masa kontraknya habis pada 2017.
"Masa transisi diperlukan tidak hanya untuk Indonesia menyiapkan tim. Tetapi juga agar Freeport bisa melakukan persiapan meninggalkan pertamÂbangan," katanya.
Seperti Blok Mahakam, lanÂjutnya, pemerintah bisa mengaÂjak Freeport jika mereka masih tertarik. Total E&P Indonesie dan Inpex tetap dibolehkan membeli 30 persen saham Blok Mahakam.
Mamit menerangkan, berakhirnya kontak Freeport tidak serta merta, pemerintah dapat langsung mengambil alih pertambangan. Karena, dalam konÂtrak karya dinyatakan, pasca kontrak berakhir maka semua aset Freeport ditawarkan untuk dijual ke pemerintah dalam jangka waktu 30 hari. Bila pemerintah mau membeli aset terseÂbut, maka dalam jangka waktu 90 hari sudah harus dibayar.
Namun, jika pemerintah tidak mau membeli, Freeport dapat menjual atau mengalihkan atau menyingkirkan aset tersebut dalam jangka waktu 12 bulan sejak penawaran kepada pemerintah.
"Bila tetap tidak terjual, teralih atau tersingkirkan, maka aset tersebut menjadi milik pemerinÂtah. Ini yang harus dipersiapkan pemerintah dengan matang," pungkasnya. ***
BERITA TERKAIT: