Vice President (VP) CorpoÂrate Communications Freeport Indonesa, Riza Pratama menerangkan, selama beroperasi di Indonesia, pihaknya sudah dua kali menandatangani konÂtrak karya (KK) yakni pada 1961 dan tahun 1991.
"Kita bicara sejarah. Pada kontrak tahun 1991, perpanjangan itu 30 tahun plus opsi 2 kali 10 tahun. Jadi sebeÂnarnya, kontrak itu berlaku sampe 2041," kata Riza keÂpada
Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Karena ada kontrak panjang, lanjut Riza, pihaknya memÂbangun infrastruktur tambang bawah tanah (underground mining) dengan nilai investasi hampir Rp 100 triliun. NaÂmun demikian, pada 2009 lahir Undang-Undang Minerba yang kemudian pemerintah menetapkan kontrak berakhir 2021.
"Dari investasi itu (tamÂbang bawah tanah) kita belum mendapatkan hasil karena baru beroperasi penuh 2022. BaÂgaimana jika kontrak berakhir 2021?," terangnya.
Soal pembangunan smelter, Riza meyakinkan, tuntutan kejelasan mengenai perpanÂjangan hal yang sangat waÂjar. Membangun smelter itu membutuhkan dana 2,3 miliar dolar AS.
"Kalau kita investasi bangun smelter, sementara kontrak tidak diperpanjang, bagaimana? Sementara jika smelter dibangun dari sekarang baru beropasi pada 2021," terangÂnya.
Kalau pun dipaksakan bangun smelter tetapi kontrak diperpanjang, menurut Riza, pabrik akan kesulitan mencari bahan mineralnya.
Riza menerangkan, produk yang dihasilkan Freeport berÂbeda dengan nikel atau bauksit. Biaya pembangunan smelter untuk kedua olahan tersebut lebih murah ketimbang smelter tembaga.
"Kalau bauksit dan nikel itu memang harus diolah di dalam negeri, karena pada saat diekspor nilainya bertamÂbah 30-40 kali lipat. SedangÂkan Freeport sudah diolah di pabrik, sudah 95 persen nilai tambahnya. Jadi kalau dieskpor pun pajak 95 persen harganya, yang 5 persen yang di smelter," pungkasnya. ***
BERITA TERKAIT: