Jokowi: Bahaya Dolar Dijadikan Tolok Ukur Kinerja Perekonomian

Dapat Persepsi Buruk, Arus Investasi Sulit Terealisasi

Rabu, 07 Desember 2016, 09:00 WIB
Jokowi: Bahaya Dolar Dijadikan Tolok Ukur Kinerja Perekonomian
Foto/Net
rmol news logo Presiden Jokowi memproyeksi dolar AS akan terus mengalami penguatan. Bekas Gubernur DKI Jakarta tersebut mengajak semua kalangan tidak lagi menjadikan mata uang negeri Paman Sam menjadi tolok ukur menilai kondisi perekonomian. Karena, penguatan mata uang tersebut tidak menggambarkan kondisi riil ekonomi.
 
Jokowi mengungkapkan, AS bukan satu-satunya mitra dagang Indonesia. AS hanya 9 sampai 10 persen dari total perdagangan. Banyak negara lain seperti China sebesar 15,5 persen, Uni Eropa 11,4 persen, dan Jepang 10,7 persen. Menu­rut Jokowi, perbandingan mata uang seharusnya tidak hanya dengan dolar AS, tetapi juga terhadap mata uang para mitra dagang lainnya.

"Misalnya (bisnis-red) dengan China, maka ukurannya adalah yuan. Dengan Jepang maka yen, dan Uni Eropa dengan euro. Jadi harusnya tidak hanya memantau dolar, tetapi lebih komprehen­sif," ujar Jokowi dalam sambu­tannya pada acara sarasehan 100 ekonom Indonesia di Hotel Fairmont, Jakarta, kemarin.

Jokowi menilai, bahaya jika hanya melihat dolar AS sebagai tolok ukur. Persepsi yang muncul terhadap perekonomian Indone­sia akan dianggap jelek. Pasalnya, dia memproyeksi tren penguatan dolar akan terus berlanjut.

"Persepsi itu membahayakan. Kalau Indonesia dipersepsikan buruk maka arus investasi sulit terealisasi. Janganlah perdagan­gan yang 10 persen mendomi­nasi persepsi. Padahal ekonomi kita baik-baik saja," terangnya.

Dia yakin kalau tolok ukur mata uang juga dilakukan ter­hadap mata uang mitra dagang maka ada kemungkinan terlihat lebih bagus. Karena, pandangan tidak hanya satu.

Jokowi melihat potensi terjadi pelemahan rupiah dari sejumlah rencana kebijakan yang akan diambil Presiden AS baru Don­ald Trump. Menurut Jokowi, Amerika akan jalan sendiri. Mereka ingin memperkuat per­ekonomian dalam negerinya tanpa mempertimbangkan neg­ara lain.

Jokowi menyebutkan salah satu kebijakan yang akan di­ambil yakni pemangkasan tarif pajak. Hal itu akan berdampak terhadap pelebaran defisit ang­garan sehingga bisa memicu kenaikan suku bunga AS.

"Kurs dolar semakin mencer­minkan antisipasi pasar bahwa pertumbuhan ekonomi AS akan menguat lagi dan inflasi dolar akan melonjak. Kelihatannya akan menuju ke sana," paparnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, esensi pernyataan Presiden Jokowi sebenarnya kurs suatu negara dengan neg­ara lainnya idealnya ditentukan betul oleh perdagangannya.

Darmin mencontohkan, nilai kurs rupiah terhadap kurs China yakni Yuan semestinya memang harus diukur berdasarkan tran­saksi ekonomi Indonesia dengan Negeri Tirai Bambu tersebut.

"Artinya, kurs mata uang ki­ta dengan China mustinya ya memang berdasarkan transaksi ekonomi kita dengan China, baik ekspor ataupun impor," katanya.

Namun demikian, Darmin mengakui melepaskan dolar AS dalam perdagangan dengan negara lain tidak mudah. Karena, dolar masih menjadi referensi mata uang negara dunia. "Itu tidak mudah, harus ada persiapan khusus antara satu negara dengan negara lain," ujarnya.

Darmin mengatakan, saat ini, Bank Indonesia (BI) telah memi­liki perjanjian khusus terkait penggunaan renminbi dalam aktivitas ekspor impor.

Direktur Eksekutif Depar­temen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BIJuda Agung mengamini hal tersebut. "Arti­nya, dalam transaksi ekspor dari kita dengan China atau dari China ke kita bisa mengguna­kan mata uang masing-masing negara," ujarnya.

Sayangnya, menurut Juda, baru sedikit eksportir yang menggunakan skema tersebut. Penyebabnya, secara infrastruk­tur perbankan dan sistem pem­bayaran di kedua negara masih belum siap. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA