Ketua Komisi Pengawas PerÂsaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan, surat pemangÂgilan KPPU kepada dua opÂerator sudah dikirimkan dan akan dilakukan pertemuan dalam waktu dekat. Pemanggilan ini, menurutnya, karena ada tiga indikasi yang mengarah ke kartel dan menyalahi Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan dibuatnya perusahaan patungan tersebut.
"Kami akan memanggil InÂdosat dan XL karena ada tiga indikasi dugaan kuat yang menÂgarah kartel. Yakni
price fixing, market allocation, dan
output restriction," ujarnya, kemarin.
Dijelaskan Syarkawi,
price fixing yang dimaksud adalah InÂdosat dan XL bisa berkoordinasi menetapkan harga. Sementara
market allocation, keduanya bisa menetapkan pembagian wilayah pemasaran. Sedangkan
output restriction, keduanya bisa mengÂatur pasokan bersama-sama.
Dia tidak menginginkan reÂvisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan TelekomuÂnikasi serta revisi PP No.53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, dijadikan rujukan pelaku usaha untuk menginisiasi persaingan usaha tidak sehat.
Syarkawi mengaku, membuÂtuhkan waktu untuk mendalami perilaku kartel yang dilakukan oleh pelaku usaha. KPPU perlu menyelami mengenai tujuan pembentukan perusahaan paÂtungan, pola kerja sama hingga tujuan pelaporan.
"Tujuan kami memanggil Indosat dan XL adalah untuk meminta keterangan langsung terkait strategi usaha patungan mereka," tukasnya.
General Manager Corporate Communication XL Ayu TriÂwahyuningsih mengatakan, peÂrusahaan yang baru dibentuknya itu bukan untuk menjalankan bisnis bersama. Sejauh ini antara XL dan Indosat masih berjalan masing-masing sehingga tuduÂhan kartel adalah keliru.
"Karena kalau dikroscek lebih dalam perusahaan gabungan yang kami bentuk ini dibuat untuk melakukan konsultasi saja yang secara bisnis kita berjalan masing-masing," ujar Ayu kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Dia menilai, kartel hanya bisa diberikan kepada perusahaan yang menguasai pasar dengan cara melakukan kerjasama bisnis dan berjalan bareng. Ayu meliÂhat hal yang memicu munculnya tudingan miring itu karena benÂtuk kerja sama saat ini dikaitkan dengan pasal 12 UU No.5 Tahun 1999 yang menyatakan, pelaku usaha dilarang melakukan perÂjanjian untuk melakukan kerja sama guna menguasai pasar atau memonopoli.
"Nah iya dari situ yang mungÂkin membuat publik berasumsi ke arah kartel, jadinya orang curiga sama kita," tuturnya
Ayu mengakui pihak XL suÂdah mendapat surat dari KPPU. Tapi kelanjutannya masih belum ada sehingga XL belum beÂrani bicara lebih dalam dengan adanya isu kartel tersebut. "Kita sudah terima surat panggilan tapi belum tau persis karena kita belum melakukan pertemuan dengan KPPU," katanya.
Jangan Rugikan KonsumenSekjen Forum Indonesia untuk Transparansi (FITRA) Yenny Sucipto mengatakan, sebelum menerapkan aturan berbagi jarinÂgan (
network sharing) pemerintah harus memperhatikan beberapa hal. "Yang pertama adalah menÂgenai perhitungan penurunan kinerja bisnis dari revisi biaya interkoneksi itu sendiri," ujarnya.
Kedua yang juga harus diperÂhitungkan adalah penurunan pendapatan interkoneksi. DaÂlam pandangan FITRA, hal ini justru malah tidak dijadikan dasar dalam perubahan biaya interkoneksi ini. "Lalu yang terakhir dampak tarif pungut kepada masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, Direktur EkseÂkutif Center for Indonesia TaxaÂtion Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pemerÂintah harus mengawasi kebiÂjakan
network sharing sehingga tidak terjadi kerugian baik bagi masyarakat maupun industri telekomunikasi.
Dia menilai, kebijakan tersebut bisa mengakibatkan efek berganda, yaitu turunnya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). "Ini akan menimbulkan
free rider dan malas membanÂgun, kompetisi jadinya tidak sehat," jelasnya.
Kompetisi yang tidak sehat dan tidak fair akan memacu perang harga sehingga menuÂrunkan penjualan dan laba bersih yang berdampak pada turunÂnya penerimaan pajak. Jika revisi peraturan ini tetap akan disahkan, dia akan merekomenÂdasikan agar
network sharing dilakukan di daerah yang tidak menguntungkan dan harus ada insentif untuk operator yang membangun. ***
BERITA TERKAIT: