Ketua Umum Asosiasi IndusÂtri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Toni Tanduk mengaÂtakan, produksi garam nasional tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan garam industri. SeÂlain itu, industri juga memiliki standar tertentu untuk produkÂsinya sehingga impor garam saat ini masih diperlukan.
"Hasil produksi garam lokal hanya dapat memenuhi kebuÂtuhan konsumsi. Industri juga banyak yang belum bisa mengÂgunakannya karena terkait dengan kualitas yang rendah," tuturnya kepada
Rakyat MerdeÂka, kemarin.
Toni menjelaskan, saat ini total kebutuhan garam nasional sekitar 3,9 juta ton. Untuk kebuÂtuhan konsumsi langsung sekitar 700 ribu ton.
Pemakaian terbesar masih dari industri, yaitu petrokimia 1,7 juta ton, bleaching 400 ribu ton, aneka pangan 450 ribu ton, farmasi/kosmetik 3000 ton, pengeboran minyak 50 ribu ton, penyamakan kulit 50 ribu ton, pengasinan ikan 400 ribu ton, dan industri lainnya 100 ribu ton.
Sementara pasokan dalam negeri paling besar maksimal cuma mampu 2,2 juta ton, seÂhingga masih ada kekurangan 1,7 juta ton. "Untuk mencuÂkupi sisanya harus dipasok dari mana kalau tidak dari impor," katanya.
Menurut dia, jika pemerintah melarang aturan impor garam, dampaknya akan mengganggu kinerja berbagai industri yang menyerap banyak garam. DenÂgan kualitas garam lokal yang tidak sesuai harapan industri dikhawatirkan akan menurunkan kualitas daya saing banyak inÂdustri pengguna garam.
Kepala Bidang PengembanÂgan Teknologi AIPGI Artur Tanujaya mengatakan, kondisi cuaca yang memasuki masa La-Nina (hujan) berpotensi menuÂrunkan produksi garam lokal. Sebab, memproduksi garam membutuhkan sinar matahari.
"Petani akan kesulitan dan membuat garam karena suhu dari sinar matahari yang diharapkan kurang mencukupi sehingga air laut yang memiliki kandungan garam tidak menjadikan garam mengkristal," terangnya.
Artur menjelaskan, rata-rata per tahun produksi garam baik oleh petani ataupun oleh peÂrusahaan pengolahan garam hanya mampu menghasilkan 1,9-2 juta ton. Jumlah ini didaÂpat dari produksi mulai Juni hingga Oktober atau November tergantung dengan kondisi cuaca Indonesia.
Pengamat ekonomi Faisal Basri berharap, pemerintah bisa realistis melihat kondisi di lapangan. Jika dibuat aturan mewajibkan penyerapan garam impor hanya akan jadi beban importir dan pelaku industri. "Kebijakan impor garam harus diperlakukan sebaik mungkin sebagaimana komoditas lain seperti beras dan bawang putih," katanya.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, kebutuhan garam nasional menÂcapai 3,9 juta ton, sedangkan produksinya hanya 2,2 juta ton. "Ini buat industri ada kekurangan sekitar 1,7 juta ton. Kan aneh, kalau negara yang kekurangan produksi dalam negeri, ada kebijakan menyerap garam dalam negeri. Apa yang mau diserap kalau kurang?" kata Faisal.
Faisal mengatakan, tidak tepat apabila importir dikenai kewajiban menyerap garam rakyat.Importir harus merogoh kocek lagi untuk mengumpulkan garam dari sentra-sentra produksi dalam negeri, dan pada akhirnya terakumulasi pada harga jual garamnya. Industri pengguna garam pada akhirnya membeli garam dengan harga lebih tinggi, sehingga daya saing industrinya berkurang. ***
BERITA TERKAIT: