Rencana Menteri Rini Akuisisi PLN Cuma Bikin Gaduh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 15 September 2016, 22:46 WIB
Rencana Menteri Rini Akuisisi PLN Cuma Bikin Gaduh
Rini Soemarno/Net
rmol news logo Akuisisi PLN terhadap PGE yang direncanakan Kementerian BUMN dinilai hanya akan menciptakan kegaduhan. Rencana itu juga memunculkan kecurigaan akan adanya motif penjarahan aset yang dimiliki BUMN.

"Alasan Bu Rini Soemarno (Menteri BUMN, red) terkait rencana akuisisi PLN terhadap PGE sangat tidak relevan. Jangan mengganggu yang sudah jalan," kata Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara, di Jakarta, Kamis (15/9).

Marwan menambahkan, terbukti bahwa tujuan akuisisi tersebut agar terjadi simbiosis mutualisme. Rencana membuat harga uap menjadi lebih murah, ternyata tidak benar dan tidak layak.

"Karena tidak relevan, maka perlu diwaspadai adanya motif lain. Sejauh ini IRESS mencatat, kecurigaan pihak lain tentang motif di balik akuisisi, seperti monetisasi/leverage aset/kapital, perburuan dana/penggantian carbon credit, penguasaan sumber panas bumi potensial milik BUMN, memberi kesempatan swasta/asing, melakukan IPO, menyiapkan lahan bisnis bagi penerima Tax Amnesty, menyiapkan perusahaan untuk membmembelielihaan-perusahaan PLTP yang sudah beroperasi, dan lain-lain," urainya.

Marwan menjelaskan, pengujian terhadap aspek simbiosis mutualisme, misalnya, PLN (33 persen) dan Pertamina (67 persen) pernah bekerjasama mengembangkan PLTP di Dieng, Patuha dan Sarulla dalam sebuah badan usaha bernama Geo Dipa Energi (GDE) pada 2002.

Sebagai produk awal, GDE berhasil membangun PLTP Dieng dengan kapasitas 60 MW pada 2005. Namun berhubung karena tidak konsistennya sikap pemerintah, konsorsium tidak dilanjutkan dan Pertamina dipaksa menjual sahamnya kepada pemerintah pada 2011. Akibatnya, produksi PLTP Dieng turun menjadi hanya sekitar 22 MW dan PLTP Patuha baru beroperasi pada 2014. Bahkan lapangan Sarulla yang potensial pun lepas menjadi milik swasta nasional dan asing.

"Jadi bisa dipertanyakan, jangan-jangan pemerintah nanti inkosisten dan PGE pun dilepas kepada swasta atau asing," jelas Marwan.

Sementara alasan bahwa dengan akuisisi bisa menjadikan harga uap lebih murah, menurut Marwan, juga sangat tidak relevan. Sebab, wewenang penetapan harga uap atau listrik panas bumi, yakni harga jual/beli antara kontraktor dan PLN, berada di tangan pemerintah, bukan badan usaha. Dalam Pasal 22 UU 21/2014 tentang Panas Bumi antara lain disebutkan harga energi panas bumi ditetapkan pemerintah dengan mempertimbangkan harga keekonomian. Ketentuan mengenai tata cara penetapan harga diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Oleh sebab itu, PLN tidak bisa sesuka hati mengatur harga uap seperti yang dinyatakan oleh Dirut PLN. Apalagi jika harga tersebut demikian rendah, sehingga membuat perusahaan hasil akuisisi merugi, karena harga pun terbentuk dari hitungan kelayakan bisnis.

Pengamat ekonomi energi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, juga mencurigai adanya motif lain terkait rencana akuisisi PLN terhadap PGE. "Yang jelas, ini tidak terkait dengan harga, monopoli, dan industrialisasi. Ini adalah penjarahan aset BUMN," kata Salamuddin.

Menurutnya, rencana akuisisi terhadap PGE sama sekali bukan ditujukan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari harga listrik yang selangit. Sebaliknya, lanjut dia, ini adalah kepentingan para cukong dalam menguasai aset negara. "Bahkan, Serikat Pekerja PLN pun menolak akuisisi terhadap PGE, karena mereka mengetahui semua itu," demikian Salamuddin. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA