Menurut pengamat perlindungan konsumen Indah Sukmaningsih, untuk Elpiji subsidi harga di Indonesia justru termasuk termurah di Asean dan bahkan Asia. Sedangkan untuk non subsidi meski sudah mengikuti harga keekonomian namun tetap lebih terjangkau.
"Saya meragukan pernyataan tersebut. Dapat data dari mana," kata Indah kepada wartawan di Jakarta, Jumat (25/3).
Sebaliknya, dia justru mengamini informasi harga yang disampaikan Dirjen Migas Kementerian ESDM Wiratmaja Puja. Menurut Indah, harga tersebut lebih akurat dan dapat dipercaya yakni berada pada kisaran Rp 4.250 per kilogram. Harga yang jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia yakni Rp 6.938 per kilogram dan di Thailand Rp 7.000 per kilogram. Bahkan dibandingkan India, Elpiji Pertamina juga lebih rendah. Di negara Asia Selatan itu, harga Elpiji subsidi dipatok Rp 5.500 per kilogram.
Sementara untuk jenis non subsidi, berdasarkan harga keekonomian, Pertamina mematok harga Rp 7.700 - Rp 14.200 per kilogram. Bandingkan dengan Filipina yang sudah memasang harga Rp 24.000 per kilogram, Jepang Rp 20.000 per kilogram, Tiongkok Rp 17.000 - Rp 21.000 per kilogram, dan bahkan Skotlandia
Rp 17.000 per kilogram.
"Bedanya jauh. Memang di sini lebih murah," lanjut Indah yang juga mantan ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ditambahkan Indah, rendahnya harga Elpiji Pertamina tak lepas dari efisiensi yang dilakukan BUMN tersebut. Termasuk diantaranya, upaya memangkas mata rantai tata niaga yang tidak perlu. Dalam hal ini, Pertamina menindak tegas jika terdapat penyalur yang terbukti nakal yang menyalahi aturan.
Tidak hanya di luar negeri, dengan kompetitor di dalam negeri ternyata harga Elpiji Pertamina juga lebih murah. Dari sekitar empat sampai lima pemain bisnis lokal LPG, produk Pertamina juga lebih rendah. Blue Gas misalnya memasang harga lebih tinggi yakni pada kisaran Rp 15.000 per kilogram.
Pernyataan Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf juga disesalkan anggota Komisi VII DPR Inas Nasrullah Zubir. Dia memastikan, bukan pada tempatnya Syarkawi berbicara tentang harga Elpiji.
"Dia sama sekali tidak mengerti tentang gas dan bisnis gas. Tidak bisa membedakan antara LPG dan city gas yang berasal dari gas bumi," katanya.
Selain tidak bisa membedakan antara LPG dan city gas, Syarkawi juga dinilai tidak mengerti tentang bisnis gas. Dalam konteks ini, Inas justru menduga, pernyataan tersebut memiliki misi tertentu. Terlebih, Syarkawi juga mengatakan bahwa jika Pertamina tidak menurunkan harga maka KPPU akan merekomendasikan kepada pemerintah untuk merubah regulasi LPG. Yakni dengan membuka keran impor LPG dan membiarkan pihak swasta masuk.
"Sudah kelihatan arah ketua KPPU. Di balik pernyataan itu, dia membawa pesan swasta untuk membuka keran impor," tegas Inas.
[wah]
BERITA TERKAIT: