Dengan biaya mahal tersebut, Pertamina harus menanggung kerugian dalam jumlah besar. Dengan asumsi kilang Pertamina mengolah 1 juta barel BBM per hari, yang setara dengan 159 juta liter BBM, maka nilai kerugian yang harus ditanggung Pertamina mencapai Rp 79,5 miliar per hari.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaean merasa ada yang aneh apabila produksi kilang Pertamina jauh lebih mahal dibandingkan kilang yang lain, termasuk dari Singapura. Padahal, Pertamina juga memproduksi minyak sendiri, sementara Singapura praktis tak punya sumber minyak.
"Ada banyak masalah dalam produksi kilang minyak di Pertamina. Banyak komponen yang seharusnya tidak masuk biaya justru dibebankan ke biaya kilang. Ini yang lewat dari perhatian tim reformasi tata kelola migas," jelas dia dalam keterangan persnya, Selasa (23/6).
Hal itu juga yang dirasa Ferdinand membuat Pertamina malah merugi, bukan mendapatkan keuntungan. Parahnya, negara juga dirugikan karena hal itu. Makanya, Ferdinand meminta agar Kementerian ESDM ikut menyelidiki hal itu.
Di sisi lain, Ferdinand menyayangkan langkah ESDM membubarkan Petral hanya karena dianggap sarang mafia migas tidak akan berarti jika tak dilakukan reformasi di Pertamina.
"Akan percuma Petral dibubarkan tetapi kondisi Internal Pertamina tetap seperti sekarang. Jangan-jangan mafia migas tidak di Petral, tetapi sistem yang ada sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu," tandas Ferdinand.
Untuk diketahui, akibat beban biaya BBM yang sangat besar, selama kuartal I - 2015
bisnis BBM Pertamina menderita rugi hingga US$ 350 juta atau sekitar Rp 4,62 triliun (kurs Rp 13.200). Dampaknya, secara umum laba bersih BUMN ini hanya US$ 28 juta, jauh dibawah target perusahaan sebesar US$ 427 juta.
[sam]
BERITA TERKAIT: