Pemerintah didesak menindak tegas para mafia hutan yang telah merugikan negara hingga Rp 55 triliun.
Juru Bicara Koalisi Anti Mafia Hutan Grahat Nagara mengatakan, potensi kerugian negara yang disÂebabkan para mafia hutan mulai dari tahun 1991 hingga 2014 (selama 23 tahun) mencapai Rp 55 triliun.
Menurut dia, berdasarkan data Koalisi Anti Mafia Hutan sepaÂnjang 2014 lebih dari 30 persen kayu yang dikonsumsi industri tidak tercatat di Kementerian Kehutanan.
"Sepanjang tahun 1991 hingga 2014 juga ditemukan adanya selisih volume kayu hingga 219 juta meter persegi," ungkapnya.
Grahat mengaku temuan terseÂbut berdasarkan praktik tebang habis hutan alam dan sumber ilegal yang bukan berasal dari Hutan Tanaman Industri dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang dikelola dengan baik.
Dia mengingatkan, nilai keruÂgian bisa lebih tinggi lagi jika memasukkan perhitungan pengÂgantian nilai tegakan (PNT) yang dilakukan berasal dari pembukaan lahan oleh izin peÂmanfaatan kayu (IPK).
Menurut Grahat, saat ini paÂsokan kayu legal untuk industri masih sangat sedikit. Alhasil, industri bergantung pada perseÂdiaan kayu hutan alam.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, pemerintah tengah menggenjot penerimaan pajak dengan memberantas perusaÂhaan yang bergerak di sektor perikanan dan kehutanan yang ilegal.
Politisi Nasdem ini yakin, dengan meningkatkan dan memÂberantas praktik illegal logging bisa menghindari kasus sepÂerti Labora Sitorus yang diduga memiliki banyak perusahaan illegal logging.
Siti juga mengaku mengganÂdeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). "Kita akan intensifkan bangun jejaring yang baik, baik kehutanan lingkungan hidup maupun kelautan dan telah bekerja sama dengan PPATK," tukasnya.
Anggota Komisi IV DPR Rofi’ Munawar meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan KehuÂtanan membatalkan rencana membuka kembali kran ekspor kayu log (bulat) untuk jenis dan ukuran tertentu.
"Kebijakan itu juga berpotensi meningkatkan proses illegal logging dan mematikan industri pengolahan kayu lokal," katanya pada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Rofi', ekspor kayu log hanya akan menumbuhkan usaha produsen kayu mentah, sedangÂkan di sisi lain akan mendorong deforestasi semakin besar.
Seharusnya, kata dia, pemerÂintah lebih serius mengembangÂkan usaha kehutanan berbasis industri kreatif dan inovasi teknologi dibanding menjual langsung kayu log.
"Kebijakan ini harus diruÂmuskan lebih cermat dan serius antar Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perindustrian. Pertimbangan dari aspek hulu seperti ketersediaan kayu hingga hilir terkait pengolahan industri lokal harusnya lebih diperhatiÂkan," pintanya.
Rofi’ juga menilai, ekspor kayu log dapat memunculkan potensi berkurangnya tenaga kerja yang mampu terserap pada sektor tersebut karena efek dari industri yang tidak akan berjalan dengan baik.
"Ekspor kayu log sesungguhÂnya bertolak belakang dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri," ujarnya.
Untuk diketahui, Kementerian Kehutanan menilai selama ini harga kayu bulat di dalam negeri tidak kompetitif. Harga kayu bulat atau log di dalam negeri sekitar Rp 2,3 juta per meter kubik, sedangÂkan harga ketika diekspor mencaÂpai 700 â€" 800 dolar AS per meter kubik atau sekitar Rp 8,75â€"10 juta per meter kubik.
Karena itu, Kementerian KehuÂtanan berdalih, dampak dari kayu bulat tidak kompetitif itu telah membuat pemilik konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) terus terancam gulung tikar. ***