Ketua BPK Harry Azhar Azis meÂngatakan, pihaknya siap melaÂkukan audit biaya produksi BBM. Namun, dia bilang, pihaknya tiÂdak bisa melakukan sendiri. MeÂÂnurut dia, pihaknya tinggal meÂÂnunggu permintaan dari DPR secara lembaga.
Bukan perseorang , tapi harus secara kelembagaan,†ujarnya keÂpada
Rakyat Merdeka, kemarin. MeÂnurut dia, jika sudah ada perÂmintaan pihaknya akan langsung melakukan audit tujuan khusus biaya produksi BBM.
Anggota BPK Achsanul QoÂsasih sebelumnya mengaÂtaÂkan lembaganya telah mengÂgeÂlar dan melaksanakan audit investigatif untuk menyelidiki praktik mafia migas di Indonesia. Audit invesÂtigatif ini masih berlangsung. Itu belum selesai, kita masih buat keÂsimpulan,†tegas Achsanul.
Tidak hanya ikut dalam memÂburu mafia migas, BPK juga suÂdah berkoordinasi dengan peÂmeÂrintah untuk mengatur tata kelola migas.
Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Djoko Siswanto mengatakan, pihak Pertamina yang dalam hal ini diwakili oleh SeÂnior Vice President Fuel MarÂketing and Distribution SuÂharÂtoko tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya produksi BBM. Hal ini didapat setelah rapat dengan pihak Pertamina, Rabu (3/12) lalu.
Dalam rapat tersebut, pihak Pertamina juga kesulitan untuk menjelaskan soal berapa sebeÂnarnya biaya produksi BBM,†ujarnya Djoko kepada
Rakyat MerÂdeka, kemarin.
Diungkapkan, dalam rapat terseÂbut, pihak Pertamina mengataÂkan, selama ini pihaknya hanya mengÂorder volume yang dibuÂtuhkan saja ke Petral, sedangkan biaya produksi sebenarnya berapa dia tidak mengÂetahui riilnya.
Menurut dia, pihak Pertamina mengaku selama ini dalam pemÂbelian BBM selalu mendapatkan diskon. Namun, Pertamina belum bisa menyebutkan besaran diskon tersebut. Ini disebabkan diskon yang diberikan selama ini bukan perÂsentase harga, melainkan daÂlam bentuk dolar. Karena itu pihaknya akan meminta pejelasan dari Petral,†paparnya.
Djoko mengatakan, informasi dari Pertamina soal biaya proÂduksi sangat penting. Apalagi, kata dia, saat ini BBM jenis preÂmium oktan 88 sudah tidak ada. Alhasil untuk memperoleh jenis itu, BBM oktan 92 harus dicamÂpur dengan nafta supaya oktannya turun.
Nah sekarang yang jadi perÂtanyaan berapa sebenarnya biaya oktan 88. Apakah lebih murah atau lebih mahal dari oktan 92. Jika biaya produksi lebih mahal negara dirugikan,†katanya.
Selain itu, dia mengungÂkapÂkan, pihak Pertamina juga tidak tahu BBM yang diimpornya itu jenis premium atau pertamax. Bisa jadi premium yang diimÂpor, yang dikirim pertamax. Jika harganya produksinya lebih mahal dari pertamax tidak menuÂtup kemungkinan yang dikirim pertamax. Apalagi, nafta sebagai campuran untuk menurunkan oktan juga mahal,†katanya.
Ketua Tim Reformasi Tata KeÂlola Migas Faisal Basri mengaÂÂtakan, rumus penentuan harga bahan bakar minyak yang dipakai Pertamina selama ini sangat komÂpleks. Itu ada MOPS (
Mean of Platts Singapore), ada alfa, ada gamma, kemudian keluarlah ruÂmus,†beber dia.
Namun, ketika ditanya soal angka harga yang dipakai seÂkarang untuk mengimpor minyak itu, jawaban yang didapat adalah nominal tersebut merupakan uruÂsan
trading. Ada di Petral sama ISC (
Integrated Supply Chain),†kata dia.
Menurut Faisal, variabel alfa dalam rumus penentuan harga tersebut bisa menjadi celah dalam permainan harga BBM.
Senior Vice President Fuel MarÂketing and Distribution PerÂtaÂmina Suhartoko sebelumnya mengataÂkan, ada tiga indikator dalam meÂnentukan besaran harga BBM yang dijual kepada maÂsyarakat saat ini, yaitu biaya pengadaan Pertamina, biaya patokan peÂmeÂrintah yang dibayarÂkan ke PertaÂmina, dan harga eceran.
Suhartoko menjelaskan, seÂdang untuk penghitungan beÂban biaya produksi BBM ditenÂtukan oleh beberapa hal seperti harga MOPS, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan biaya komponen lain seperti marjin serta distribusi.
Kalau MOPS dan kurs itu ada di pemerintah. Saya tidak bisa hitung keekonomian dari BBM. Harga patokannya harus mengÂgunakan rata-rata kurs selama satu bulan,†lanjut dia. ***