Data Pertamina Minim, BPK Audit Produksi BBM Subsidi

Senin, 08 Desember 2014, 09:56 WIB
Data Pertamina Minim, BPK Audit Produksi BBM Subsidi
ilustrasi
rmol news logo Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaku siap membongkar biaya produksi BBM subsidi dengan cara mengauditnya. Apalagi, hingga kini Tim Refomasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi masih kesulitan untuk meminta data biaya produksi dari PT Pertamina (Persero).

Ketua BPK Harry Azhar Azis me­ngatakan, pihaknya siap mela­kukan audit biaya produksi BBM. Namun, dia bilang, pihaknya ti­dak bisa melakukan sendiri. Me­­nurut dia, pihaknya tinggal me­­nunggu permintaan dari DPR secara lembaga.

Bukan perseorang , tapi harus secara kelembagaan,” ujarnya ke­pada Rakyat Merdeka, kemarin. Me­nurut dia, jika sudah ada per­mintaan pihaknya akan langsung melakukan audit tujuan khusus biaya produksi BBM.

Anggota BPK Achsanul Qo­sasih sebelumnya menga­ta­kan lembaganya telah meng­ge­lar dan melaksanakan audit investigatif untuk menyelidiki praktik mafia migas di Indonesia. Audit inves­tigatif ini masih berlangsung. Itu belum selesai, kita masih buat ke­simpulan,” tegas Achsanul.

Tidak hanya ikut dalam mem­buru mafia migas, BPK juga su­dah berkoordinasi dengan pe­me­rintah untuk mengatur tata kelola migas.

Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Djoko Siswanto mengatakan, pihak Pertamina yang dalam hal ini diwakili oleh Se­nior Vice President Fuel Mar­keting and Distribution Su­har­toko tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya produksi BBM. Hal ini didapat setelah rapat dengan pihak Pertamina, Rabu (3/12) lalu.

Dalam rapat tersebut, pihak Pertamina juga kesulitan untuk menjelaskan soal berapa sebe­narnya biaya produksi BBM,” ujarnya Djoko kepada Rakyat Mer­deka, kemarin.

Diungkapkan, dalam rapat terse­but, pihak Pertamina mengata­kan, selama ini pihaknya hanya meng­order volume yang dibu­tuhkan saja ke Petral, sedangkan biaya produksi sebenarnya berapa dia tidak meng­etahui riilnya.

Menurut dia, pihak Pertamina mengaku selama ini dalam pem­belian BBM selalu mendapatkan diskon. Namun, Pertamina belum bisa menyebutkan besaran diskon tersebut. Ini disebabkan diskon yang diberikan selama ini bukan per­sentase harga, melainkan da­lam bentuk dolar. Karena itu pihaknya akan meminta pejelasan dari Petral,” paparnya.

Djoko mengatakan, informasi dari Pertamina soal biaya pro­duksi sangat penting. Apalagi, kata dia, saat ini BBM jenis pre­mium oktan 88 sudah tidak ada. Alhasil untuk memperoleh jenis itu, BBM oktan 92 harus dicam­pur dengan nafta supaya oktannya turun.

Nah sekarang yang jadi per­tanyaan berapa sebenarnya biaya oktan 88. Apakah lebih murah atau lebih mahal dari oktan 92. Jika biaya produksi lebih mahal negara dirugikan,” katanya.

Selain itu, dia mengung­kap­kan, pihak Pertamina juga tidak tahu BBM yang diimpornya itu jenis premium atau pertamax. Bisa jadi premium yang diim­por, yang dikirim pertamax. Jika harganya produksinya lebih mahal dari pertamax tidak menu­tup kemungkinan yang dikirim pertamax. Apalagi, nafta sebagai campuran untuk menurunkan oktan juga mahal,” katanya.

Ketua Tim Reformasi Tata Ke­lola Migas Faisal Basri menga­­takan, rumus penentuan harga bahan bakar minyak yang dipakai Pertamina selama ini sangat kom­pleks. Itu ada MOPS (Mean of Platts Singapore), ada alfa, ada gamma, kemudian keluarlah ru­mus,” beber dia.

Namun, ketika ditanya soal angka harga yang dipakai se­karang untuk mengimpor minyak itu, jawaban yang didapat adalah nominal tersebut merupakan uru­san trading. Ada di Petral sama ISC (Integrated Supply Chain),” kata dia.

Menurut Faisal, variabel alfa dalam rumus penentuan harga tersebut bisa menjadi celah dalam permainan harga BBM.

Senior Vice President Fuel Mar­keting and Distribution Per­ta­mina Suhartoko sebelumnya mengata­kan, ada tiga indikator dalam me­nentukan besaran harga BBM yang dijual kepada ma­syarakat saat ini, yaitu biaya pengadaan Pertamina, biaya patokan pe­me­rintah yang dibayar­kan ke Perta­mina, dan harga eceran.

Suhartoko menjelaskan, se­dang untuk penghitungan be­ban biaya produksi BBM diten­tukan oleh beberapa hal seperti harga MOPS, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan biaya komponen lain seperti marjin serta distribusi.

Kalau MOPS dan kurs itu ada di pemerintah. Saya tidak bisa hitung keekonomian dari BBM. Harga patokannya harus meng­gunakan rata-rata kurs selama satu bulan,” lanjut dia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA