Kartu Sakti Jokowi Belum Mampu Bisa Menahan Anjloknya Daya Beli

Senin, 01 Desember 2014, 09:45 WIB
Kartu Sakti Jokowi Belum Mampu Bisa Menahan Anjloknya Daya Beli
ilustrasi
rmol news logo Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan laju inflasi tahunan 2015 akan berada pada kisaran 5,0-6,0 persen atau lebih tinggi dari asumsi peme­rintah dalam APBN sebesar 4,4 persen.

Dampak kenaikan harga BBM masih terasa hingga triwu­lan satu tahun depan, ter­utama karena adanya penye­suaian harga di barang indus­tri,” kata Direktur Indef Enny Sri Hartati.

Menurut dia, inflasi juga diakibatkan rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL), gang­guan pada musim hujan yang bisa mengancam produksi serta distribusi bahan komoditas pangan serta faktor musiman seperti Hari Raya Lebaran, Natal dan Tahun Baru.

Enny mengatakan, problem inflasi bukan pada demand tapi suplai pasokan bahan kebutu­han pokok. Kalau pemerintah pu­nya buffer stock, ini bisa men­jadi instrumen pengen­dalian harga apalagi cuaca masih menjadi ancaman besar.

Terkait nilai tukar, Indef memprediksi berada pada kisaran Rp 11.850-12.250 per dolar AS, atau tidak jauh dari asumsi pemerintah dalam APBN 2015 sebesar Rp 11.900 per dolar AS. Ini sebagai antisipasi kenaikan suku bunga The Fed.

Untuk tingkat pengangguran terbuka, Indef memperkirakan akan berada pada tingkat 6,0 persen, karena meski dari tahun ke tahun mengalami penurunan namun tidak sepadan dengan capaian pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan tingkat kemiski­nan pada 2015 diperkirakan 11,5 persen. Meski pemerintah telah memberikan bantuan kompen­sasi kenaikan harga BBM melalui tiga kartu sakti, angka kemis­kinan masih sedikit meningkat.

Untuk pengangguran dan kemiskinan kita pesimis karena meski telah diberikan kompen­sasi tapi masalah penurunan daya beli tidak selesai dengan kar­tu sakti,” terang Enny.

Sementara Badan Pusat Sta­tistik (BPS) melakukan peru­ba­han tahun dasar dalam peng­hitungan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari yang sebe­lumnya mengacu pada System of National Accounts 2008 (SNA 2008) menjadi SNA 2010.

Hal ini seiring dengan perge­seran struktur ekonomi dalam 10 tahun terakhir, baik sisi global maupun domestik. Indo­nesia harus menyesuaikan data PDB menjadi terkini hingga bisa lebih akurat diperban­dingkan secara internasional.

Pergeseran struktur eko­nomi harus ada perubahan da­lam perhitungan tahun dasar PDB,” ungkap Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS Suhariyanto. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA