"Padahal tarif cukai tembakau telah meningkat lebih dari 100 persen dalam enam tahun dari 49,9 triliun dalam APBN 2008 menjadi Rp 100,7 triliun dalam APBNP 2014. Nah, pada tahun 2015, pemerintah menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 120,5 triliun," papar peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (8/10).
Menurut Daeng, sejak awal kebijakan ini telah menuai protes dari kalangan multi
stakeholders tembakau. Namun, rencana kenaikan tarif cukai telah ditetapkan dalam APBN 2015. Sebagaimana tertuang dalam Nota Keuangan 2015, dimana kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai antara lain dimaksudkan untuk (1) mengantisipasi pemberian konsesi tarif bea masuk nol persen terhadap impor bahan baku terkait kebijakan FTA; (2) ekstensifikasi barang kena cukai; dan (3) penyesuaian tarif cukai rokok.
"Ini indikasi bahwa pemerintah memang pro terhadap impor tembakau dan rokok namun anti terhadap pertanian dan industri kretek nasional," kritiknya.
Pada saat yang sama, jelas Daeng, sektor tembakau terus mendapat tekanan kebijakan yang mengacu pada rezim internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang telah diadopsi ke dalam peraturan perundangan nasional seperti pembatasan penanaman tembakau melalui alih fungsi lahan, pembatasan kadar tar dan nicotin dan larangan merokok di tempat umum. Berbeda dengan cukai dari sumber lain seperti cukai minuman beralkohol yang tidak terkena dengan berbagai macam kebijakan pembatasan sebagaimana yang dihadapi tembakau. Padahal minuman beralkohol sebagian besar merupakan produk yang diimpor.
Daeng menuturkan, dibandingkan dengan cukai lainnya, penerimaan cukai tembakau merupakan penerimaan paling besar dalam APBN dibandingkan dengan sektor ekonomi manapun. Penerimaan cukai tembakau merupakan 96,2 persen dari penerimaan cukai, sisanya Rp 3,8 triliun atau sebanyak 3,6 persen adalah Pendapatan Cukai Minuman Mengandung Ethil Alkohol (MMEA). Berbeda dengan cukai tembakau yang proporsinya cenderung meningkat, proporsi cukai alkohol terus menurun.
Lebih lanjut dijelaskan Daeng, kebijakan menaikkan tarif cukai tembakau memiliki korelasi dengan semakin menurunnya industri kecil dan menengah dalam industri tembakau. Kebijakan menaikkan tarif cukai tembakau semakin meningkatkan dominasi perusahaan besar, khususnya perusahaan asing dalam sektor tembakau. Sebaliknya, perusahaan tembakau skala kecil gulung tikar. Ditambah lagi dengan kewajiban tanda gambar bagi setiap kemasan rokok telah menimbulkan beban biaya yang tidak kecil.
"APBN jangan seperti manajemen ibu rumah tangga hanya melihat dari sisi uang masuk dan uang keluar, namun harus memiliki orientasi pembangunan industri,†pintanya.
Dengan begitu, maka industri nasional ke depan semakin memiliki kesiapan dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN (AFTA) yang akan mulai berlaku pada Desember 2015.
"Tanpa persiapan yang matang dan keberpihakan sistem fiskal nasional, seluruh industri nasional akan gulung tikar dihajar impor," tukasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: