Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda membeberkan, saat ini kaum menengah dalam posisi terjebak dengan ketersediaan hunian yang ada. Sebagai contoh, seseorang dengan penghasilan sekitar Rp 7,5 juta per bulan hanya memiliki daya cicil (bila mengambil KPR) sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Dengan daya cicil itu, ujar dia, artinya mereka hanya dapat memiliki rumah sekitar Rp 300 juta yang jarak tempuhnya dinilai relatif jauh dari kota.
"Jebakan yang terjadi ketika mereka memaksakan membeli rumah tersebut, karena masih berpikir ingin mempunyai rumah dengan tanah, ternyata mereka harus menambah biaya transportasi ke tempat kerja," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (25/9).
Ia menegaskan, jebakan itu terealisasi karena masalah waktu tempuh yang diakibatkan kemacetan antara lokasi rumah-tempat kerja mengakibatkan mereka terpaksa meninggalkan rumah tersebut dan lebih memilih untuk sewa atau kos-kosan di Jakarta.
Untuk itulah pemerintah harus segera turun tangga untuk membangun pasokan hunian vertikal di perkotaan untuk segmen menengah.
"Masalah ini dapat dikategorikan sebagai
public housing yang tidak bisa sepenuhnya diserahkan swasta. Karena berkaca dari program 1.000 menara rusunami yang dulu diluncurkan pemerintah ternyata gagal dikarenakan batasan harga yang diberikan pemerintah pun tidak ditaati oleh pengembang," ujar Ali.
Di sisi lain, menurut dia, pengembang pun tidak bisa disalahkan karena memang tidak ada aturan yang jelas mengenai hal tersebut. Akibatnya, harga menjadi semakin tinggi mengikuti mekanisme pasar dan tidak terjangkau kaum menengah perkotaan.
Ali menambahkan, seperti di kota Jakarta, masyarakat akan dihadapkan untuk tinggal di hunian vertikal namun masih ada persepsi lebih sukanya membeli rumah tapak karena masyarakat belum terbiasa tinggal di apartemen atau hunian vertikal
.[wid]
BERITA TERKAIT: