Peneliti Hukum dan Kebijakan PKSPL Institut Pertanian Bogor Akhmad Solihin mengungkapkan munculnya Permendag No 32 Tahun 2013 yang mengatur tentang tata kelola timah diindikasikan tak lepas dari kepentingan Pemilu 2014. Dirinya mengatakan menjelang Pemilu umumnya Permendag dikeluarkan untuk mengeruk pundi-pundi yang akan digunakan jelang kampanye.
"Permendag itu dikeluarkan belum lama sebelum Pemilu. Itulah mengapa setiap menjelang pemilu baik kepala daerah, Presiden, kebijakan selalu dikeluarkan untuk mengeruk pundi-pundi keuangan untuk biaya kampanye. Proses itu berulang terjadi," ucapnya dalam diskusi publik bertema "BKDI dan Polemik Regulasi Perdagangan Timah" di Universitas Al Azhar, Jakarta (Senin, 19/5).
Solihin mendesak pemerintah melakukan revisi jelang habisnya masa jabatan. Dirinya menilai, kehadiran Permendag ini tak menguntungkan masyarakat lokal dalam mengelola timah. Pasalnya, masyarakat lokal hanya ditempatkan sebagai price taker bukan price maker.
"Pemerintah harusnya berpikir kembali mengenai pengelolaan timah oleh BKDI, pasalnya BKDI memonopoli pasar. Akibat monopoli itu, masyarakat lokal pengelola timah hanya price taker bukan price maker," ujarnya.
Menurut da seharusnya ada pihak lain di luar BKDI yang mampu mengelola timah sebab hal itu untuk menghindarkan adanya oligopoli.
"Pemerintah harus mengakomodir pertambangan rakyat. Itu bertujuan untuk pengendalian harga," tuturnya seraya mengatakan BKDI saat ini telah memunculkan oligopoli.
Lebih jauh Solihin menegaskan pemerintah seharusnya berpikir kembali terhadap tata kelola perdagangan yang pro kerakyatan. "Apakah betul BKDI satu-satunya bursa. Itu melalui kajian mendalam atau tidak. Kita tidak melihat kajian lapangan detail," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama ia juga meminta pemerintah yang nantinya terbentuk dapat memperkuat pengelolalan timah menjadi perundangan yang membela rakyat. "Langkah tercepatnya yaitu pemerintah sekarang harus merevisi Permendag 32/2013," tandasnya.
Di kesempatan sama, peneliti dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Laurel Heydir berpendapat, paradigma berpikir pemerintah, termasuk kepala daerah dalam pemanfaatkan sumber daya alam adalah eksploitatif bukan mengelola. Paradigma tersebutlah menurut Laurel berkaitan erat dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak tertenu.
"Ekstrasi paradigmanya yang paling menguntungkan. Eksplotasi, bukan mengelola. Kepala daerah atau cukong perlu BKDI untuk dapat duit maupun dana untuk pilkada," tukasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: