Ratifikasi FCTC Berpotensi Perluas Rokok Ilegal Beredar di Indonesia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Senin, 14 April 2014, 14:22 WIB
Ratifikasi FCTC Berpotensi Perluas Rokok Ilegal Beredar di Indonesia
foto:net
rmol news logo Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) tidak menjamin berkurangnya perokok. Ini sudah teruji secara data dan fakta di berbagai negara yang sudah meneken FCTC.

Selain tak bisa menekan konsumsi rokok, FCTC di berbagai negara yang sudah meratifikasi malah menyuburkan peredaran rokok ilegal. Data WHO menunjukkan pada 2012 terjadi perdagangan rokok ilegal mencapai 10 persen dari pasar rokok legal dunia. Kerugian atas perdagangan ini diestimasi mencapai 30 miliar dolar AS atau hampir Rp 320 triliun.

Sayang, temuan data dan fakta itu, selalu saja dihiraukan pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan.

"Itu data-data industri, herannya selalu ditolak oleh Menkes. Sudah jelas bahwa ketika FCTC diteken justru konsumsi rokok meningkat bukan menurun. Bahkan memicu beredarnya rokok ilegal," papar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/4).

Belum lagi regulasi FCTC itu juga pada akhirnya akan mengerek cukai sangat tinggi sehingga berpotensi mematikan industri rokok kecil skala rumahan yang ada di daerah.

"Pasar rokok ilegal akan makin tinggi jika harga rokok di atas keekonomian. Ini data dari WHO, setelah ratifikasi konsumsi rokok tak turun," tambahnya.
 
Hasan memastikan, kalangan industri sudah kompak akan melawan jika pemerintah tetap ngotot mengaksesi FCTC. Pengusaha akan memakai berbagai jalur legal untuk melawan.

Berdasarkan data dari Gappri, pada tahun 2011 jumlah pabrik rokok mencapai 2.540 pabrik, kemudian tahun 2012 turun menjadi 1.000 pabrik, sedangkan tahun 2013 turun lagi menjadi 800 pabrik dengan jumlah pekerja yang juga mengalami penurunan secara bervariasi.

"Dari 800 pabrik, hanya 100 pabrik aktif, sisanya hampir kolaps," tegasnya.

Sementara itu, Sulami Bahar, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya, menilai pemberlakukan ratifikasi jelas mengancam industri padat karya terutama industri rokok di daerah. Menurut dia, PP 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif semestinya sudah cukup karena regulasi itu sudah sangat ketat. Pihaknya juga mengingatkan agar Kemenkes melihat situasi dengan jernih kondisi ekonomi sekarang yang tengah lesu. Alhasil, tidak perlu lagi ada kebijakan yang membuat industri makin suram.

"Ratifikasi FCTC juga akan berdampak pada maraknya rokok ilegal, ini selain lebih berbahaya bagi konsumen juga negara tidak akan mendapat apa-apa. Kemenkes jangan suka meniru aturan asing," tegas Sulami.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA