“Kita akan audit mereka (perusahaan) dan perkembangan pembangunan
smelter-nya,†ujar Plh Dirjen Basis Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Setio Hartono kepada
Rakyat Merdeka di Bali, Jumat (14/3).
Menurut Setio, ada 100 perusahaan yang sudah mengajukan izin untuk membangun smelter, tapi yang serius sangat sedikit. Berdasarkan hasil penelitian Kemenperin, hanya ada 27 perusahaan yang memenuhi syarat.
Dari 27 perusahaan itu, 9 perusahaan berencana membangun pabrik pengolahan slab/billet/pig iron/sponge iron kapasitas 6,4 juta ton dengan nilai investasi 6,87 miliar dolar AS.
Sedangkan empat perusahaan akan membangun pabrik alumina kapasitas 3,3 juta ton dengan nilai investasi 3,50 miliar dolar AS. Kemudian 3 perusahaan akan membangun pabrik tembaga kapasitas 0,5 juta ton dengan investasi mencapai 5 miliar dolar AS.
Sementara 11 perusahaan akan membangun pabrik
ferro nickel/nickel pig iron/nickel matte kapasitas 1,87 juta ton dengan nilai investasi 10,5 miliar dolar AS.
“Total semua investasi mencapai 25,84 miliar dolar AS dengan penghematan devisa 10,17 miliar dolar AS,†jelas Setiono.
Namun, dia mengaku Kemenperin akan melakukan audit 27 perusahaan tersebut untuk mengetahui sejauh mana progres mereka dalam pembangunan
smelter. Apalagi pemerintah sudah menegaskan pembanguan
smelter harus selesai pada 2017.
Setiono mengatakan, data ini berbeda dengan data yang dimiliki Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian yang dikomandoi Jero Wacik itu mengatakan, sudah ada 66 perusahaan yang siap bangun
smelter.“Semua perusahaan tersebut yang akan melakukan auditnya ya Kemenperin. Itu memang tugas kita,†ucapnya.
Ia mengklaim setelah pemberlakukan pelarangan ekspor mineral mentah banyak perusahaan yang berencana membangun
smelter. Namun, tidak jarang juga yang mengajukan izin pembangunan
smelter untuk mendapatkan izin ekspor.
Sayangnya, tidak semua perusahaan yang mengajukan pembangun
smelter itu serius. Karena itu, Kemenperin akan mengaudit keseriusan perusahaan tambang tersebut.
Kebijakan hilirisasi tambang ini merupakan salah cara pemerintah untuk menguasai sumber daya alam Indonesia untuk industri dalam negeri.
Industri Tambang & Gas Harus Dikuasai NegaraDi tempat yang sama, Sekjen Kemenperin Ansari Bukhari mengatakan, industri strategis harus dikuasai negara sesuai amanat Undang-Undang Perindustrian.
Dia mengatakan, dalam pasal 84 UU Perindustrian dijelaskan industri strategis adalah industri yang memenuhi kebutuhan penting bagi kesejahteraan dan menguasai hajat hidup orang banyak.
“Namun, yang termasuk mana saja industri strategis ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian,†katanya kepada
Rakyat Merdeka.Karena itu, seharusnya industri tambang dan migas dikuasai negara karena memberikan kesejahteraan dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Apalagi, menurut dia, migas dan tambang tidak bisa diperbaharui dan cadangannya akan habis. Karena itu, sebaiknya sumber daya alam strategis itu dikuasai negara. “Apalagi itu sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar,†katanya.
Namun, Ansari menolak pengambilalihan industri tersebut dengan nasionalisasi. Menurut dia, pemerintah cukup dengan tidak memperpanjang kontrak tambang dan migas yang habis.
“Kontrak yang habis harus diambil negara dan yang baru tidak dikelola asing,†ujarnya.
Dia menegaskan, aturan soal industri strategis ini akan dibuatkan dalam peraturan pemerintah (PP). ***