Frekuensi Termasuk Aset Negara Tidak Cukup Dengan Izin Menteri

Merger XL-Axis Kandaskan Pasar Telkomsel & Indosat

Senin, 06 Januari 2014, 09:09 WIB
Frekuensi Termasuk Aset Negara Tidak Cukup Dengan Izin Menteri
ilustrasi
rmol news logo Merger dua operator telekomunikasi, PT XL Axiata dengan PT Axis Telekom Indonesia, yang sejatinya merupakan wujud dari konsolidasi pasar, ternyata terus memunculkan pro dan kontra.

 Pengamat hukum bisnis dan telekomunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Edmon Makarim mengatakan, karakteristik industri jasa telekomunikasi adalah sektor industri jasa yang teratur atau regulated. Ini menyangkut kebutuhan dasar berkomunikasi setiap warga negara yang menggunakan sumber daya milik negara dan berdampak kepada hajat hidup orang banyak.

“Oleh karena itu, perlu diawasi jangan sampai merger itu dapat memicu terjadinya dominasi frekuensi,” ujarnya seraya  menilai, pengaturannya dengan mekanisme perizinan agar tidak terjadi interferensi dalam spektrum frekuensi.

“Guna menjawab kebutuhan dasar berkomunikasi warga negara yang diselenggarakan secara efisien untuk mendapatkan layanan yang murah, hukum persaingan usaha yang sehat diperlukan untuk membuat pemanfaatan sumber daya tersebut optimal dan efisien bagi masyarakat,” tutur Edmon di Jakarta, kemarin.

Pemerhati telekomunikasi dari UI Gunawan Wibisono menambahkan, pemindahtanganan frekuensi, seyogianya tidak begitu saja dilakukan. Karena menyangkut aset penting negara yang sarat dengan prosedur ketat.

“Saya kok heran ya, ada fakta pengalihan aset penting negara hanya cukup dengan izin menteri. Contohnya dalam proses merger XL Axiata dengan Axis Telekom,” kata Gunawan.

Menurutnya, dengan adanya fakta persetujuan merger XL-Axiata dan Axis, maka Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 Tahun 2000 akhirnya menjadi ‘banci’. Karena di satu sisi melarang, tapi di satu sisi juga membolehkan.

Ditegaskan, regulator seharusnya mencegah terjadinya transaksi spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan serta mencegah terjadinya transaksi sumber daya alam yang terbatas secara terselubung. Menurutnya, harus ada batas transaksi sumber daya terbatas atau sumber daya itu harus dikembalikan ke pemerintah.

Pasalnya, frekuensi bukanlah aset perusahaan sehingga tak bisa ikut serta dalam proses merger atau akuisisi. Pada pasal 25 PP 53/2000 menyebutkan bahwa izin stasiun radio yang boleh dipindahtangankan atas seizin menteri, bukannya frekuensi.

Bekas anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Bambang Adhiwiyoto mengungkapkan, sebenarnya merger atau akuisisi perusahaan di sektor telekomunikasi itu terlarang. Hal ini karena ada celah hukum yang jelas, terutama pada PP No. 53 Tahun 2000 Pasal 25 ayat 1 yang mana frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Sedangkan pada Pasal 2, pemindahan izin stasiun radio dibolehkan dengan izin menteri.

Menkominfo Tifatul Sembiring sebelumnya mengungkapkan, berdasarkan simulasi yang dilakukan pihaknya, pasca merger keduanya akan terjadi perubahan pangsa pasar dari tiga besar operator (Telkomsel, Indosat dan XL). Pangsa pasar XL-Axis diperkirakan naik sekitar 27-39 persen, yang berarti sukses menggerus pangsa pasar Indosat dan Telkomsel. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA