DPR Ingatkan Aksi Korporasi Tak Boleh Timbulkan Monopoli

Kamis, 19 Desember 2013, 09:08 WIB
DPR Ingatkan Aksi Korporasi Tak Boleh Timbulkan Monopoli
ilustrasi
rmol news logo Komisi I DPR mengingatkan kembali terkait jual beli frekuensi. Sebab, frekuensi adalah aset negara dan merupakan sumber daya terbatas yang manfaat terbesarnya untuk peningkatan kapabilitas dan kapasitas masyarakat.

Sebab itu, perihal proses merger dua operator, yaitu PT XL Axiata Tbk (EXCL) dan PT Axis Telekom Indonesia (Axis) tidak boleh dilakukan sembarangan. Proses tersebut harus sesuai aturan.

Anggota Komisi I DPR Chandra Tirta Wijaya mengatakan, XL merupakan pemain telekomunikasi yang perlu dibatasi. Hal ini terkait aksi korporasi berupa merger tersebut agar tidak menimbulkan monopoli.

“Seharusnya frekuensi dikembalikan ke negara, baru setelah itu dilakukan kontes atau lelang,” kata Chandra kepada wartawan.

Dia mengungkapkan, alokasi frekuensi harus sesuai dengan ukuran dan daya jangkau masing-masing operator.  Karena salah satu persoalan penting yang mengganjal proses merger XL-Axis adalah frekuensi.

Sebab itu, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mempertanyakan transparansi pengambilan keputusan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang menyetujui merger tersebut. Pasalnya, keputusan itu bertolak belakang dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Sebelumnya, KPPU menyimpulkan bahwa akuisisi XL terhadap Axis akan dilanjutkan ke tahap penilaian menyeluruh. Karenanya, KPPU belum merestui akuisisi ini.

Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Revrisond Baswir juga pernah mengatakan, upaya KPPU menilai secara menyeluruh aksi merger XL dan Axis agar dapat menjadi acuan terkait konsentrasi pasar di industri telekomunikasi.

Menurut dia, praktik merger di dalam industri telekomunikasi wajar terjadi jika sesuai regulasi yang berlaku. Namun, jika ada indikasi pelanggaran regulasi, tentu regulator harus tegas menolak.

Bekas Ketua KPPU Bambang Purnomo Adiwiyoto menyatakan, ada persoalan yang masih mengganjal dalam aksi korporasi tersebut. Misalnya, prosedur hukum khusus akuisisi perusahaan telekomunikasi belum ada, lantaran di dalamnya ada pengalihan spektrum frekuensi.

Menurut Bambang, berdasarkan PP No.53 Pasal 25 ayat 1, izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun, dalam PP No.53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan, pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri. Kendati begitu, seharusnya frekuensi terlebih dahulu dikembalikan ke pemerintah sebagai pemilik. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA