Berdasarkan data Pertamina, kerugian yang dialami perseroan tahun ini akibat menjual elpiji 12 kg mencapai Rp 6 triliun. Angka tersebut lebih tinggi dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 5 triliun.
Direktur Pemasaran Pertamina Hanung Budya mengatakan, semakin besarnya kerugian perseroan dari penjualan elpiji berukuran 12 kg disebabkan terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Untuk diketahui, saat ini rupiah kembali melemah terhadap dolar AS menjadi Rp 11.700. Ini adalah level terparah rupiah sejak 30 September 2013.
“Harga CP (
Crude Price) Aramconya sebenarnya sama, tapi karena beli pakai dolar AS kemudian dijual dalam rupiah jadi makin rugi,†ujar Hanung.
Untuk mengurangi kerugian tersebut, Pertamina berencana menaikkan harga elpiji 12 kg. Saat ini pihaknya masih menjual elpiji non subsidi tersebut dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksi.
Menurut Hanung, seharusnya sebagai komoditas yang tidak disubsidi pemerintah, Pertamina bebas menentukan harga jual elpiji 12 kg.
“Itukan hak korporasi. Tentu pada waktunya akan dinaikkan. Yang jelas sebelum Pemilu 2014. Coba bayangkan dengan uang Rp 6 triliun itu, kita bisa bangun berbagai infrastruktur untuk BBM, gas dan elpiji,†jelas Hanung.
Kendati begitu, Pertamina tetap memperhitungkan kondisi sosial masyarakat.
Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengusulkan kenaikan harga elpiji 12 kg pada Maret 2013. Perusahaan pelat merah itu mengusulkan kenaikan harga dengan usulan 36,2 persen dari Rp 5.850 menjadi Rp 7.966,7 per kg, atau naik Rp 2.116,7 per kg. Namun, semua opsi itu ditolak pemerintah.
Ternyata, selain berencana menaikkan harga elpiji 12 kg, Pertamina juga berencana menaikkan harga elpiji 3 kg. Di beberapa daerah harga elpiji 3 kg sudah naik, seperti yang terjadi di Depok, Jawa Barat.
Bahkan, pemerintah menerapkan harga eceran tertingginya (HET) ke pemerintah daerah. Alhasil, harga yang sampai ke tangan konsumen lebih tinggi yang ditetapkan pemerintah.
Direktur Indonesia Monitoring Centre (IMC) Supriansa meminta Pertamina menunda kenaikan harga elpiji tahun depan. Seharusnya perusahaan pelat merah itu menuruti perintah pemerintah untuk menunda rencana tersebut.
“Kenaikan itu pasti mendapat penolakan dari berbagai kalangan karena tidak tepat,†ujarnya kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Supriansa mengatakan, sebenarnya Pertamina bisa meminta kepada pemerintah untuk mengurangi dividen, dan pemerintah harusnya menyetujui pengurangan itu. “Saya kira itu jalan tengah,†katanya.
Kendati begitu, dia pesimis rencana kenaikan elpiji 12 kg akan disetujui pemerintah. Dia memprediksi itu akan ditolak mentah-mentah oleh pemerintah karena sudah masuk tahun pemilu.
Lepas Tanggung JawabPengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta harga gas elpiji 3 kg sepenuhnya ditangani pemerintah pusat dan tidak menyerahkan harga tabung melon itu ke pemda. “Itu sama saja lepas tanggung jawab. Pemerintah memberi kado bom waktu kepada masyarakat kecil,†katanya. Mereka bisa makin miskin akibat kebijakan ini.
Menurut dia, dengan diserahkan harga gas elpiji 3 kg ke pemda, sama saja melepas harga gas elpiji 3 kg ke pasar. Sebab, setiap pemda menetapkan besaran harga eceran tertinggi (HET) berbeda-beda. Jadi harga gas elpiji 3 kg di setiap daerah akan berbeda-beda.
Konsekuensinya, kalau HET di daerah sebelahnya tidak naik, warga pasti membeli ke daerah tersebut. Itu bisa menimbulkan kekacauan di masyarakat.
“Yang namanya barang subsidi, harga harus sama dimana pun masyarakat membelinya, seperti membeli premium,†tandasnya. ***