“Trader gas besar itu memelintir regulasi dari unbundling ke
open access,†kritik Aris saat mewakili PT PGN Tbk dalam
hearing dengan KPPU Wilayah Surabaya, akhir pekan lalu. Menurut dia, kebijakan
open access hanya menguntungkan trader gas tanpa fasilitas. Ia menyangkal jika skema open access akan menurunkan harga gas bumi di tingkat konsumen. Alasannya,
switching pipa eksisting PGN di Jawa Timur minimal butuh modal 300 juta dolar AS untuk pipa sepanjang total 800 kilometer. Kebutuhan modal ini tentu akan dibebankan kepada konsumen dengan menaikkan harga gas.
Aris juga tak sepakat bila PGN dianggap melakukan monopoli bisnis hilir gas bumi. Pihaknya membangun jaringan infrastruktur pipa sejak lama dan butuh modal besar.
Harga gas yang mahal, kata Aris, bukan lantaran PGN memonopoli jaringan infrastruktur. Tapi karena dipicu praktek pengusahaan gas dengan transaksi bertingkat yang melibatkan banyak broker. Sebelum sampai ke tangan konsumen, gas dari produsen, yakni Kangean Energi Indonesia (KEI), misalnya, harus melewati tiga trader.
Dua trader berstatus broker dan satu distributor, yaitu PGN. KEI menjual ke Pertagas Niaga selaku broker, Pertagas menjual lagi ke lima broker, kemudian baru dijual ke PGN.
Sementara itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) berencana melelang lokasi pembangunan pipa gas distribusi
open access. Ada sebanyak lima wilayah yang akan dilelang, yakni Semarang, Lampung, Prabumulih, Pasuruan, dan Jambi. Sayangnya, BPH Migas belum bisa menentukan kapan lelang akan dilaksanakan. ***